Halaman

Rabu, 23 Juli 2025

Zakat Menurut Bahasa dan Istilah


1.1.  Pengertian dan Hikmah Zakat

1.1.1.     Menurut Bahasa dan Istilah

Yusuf Qardawi dalam karyanya “Fikih Zakat”, beliau mengutip beberapa pendapat ulama, memberikan beberapa pengertian kata “zakat”. Ditinjau dari segi Bahasa, kata “zakat” merupakan kata dasar (maadar) dari zaka yang berarti berkah, tumbuh bersih dan baik. Sesuatu itu zaka berarti tumbuh dan berkembang, dan seorang itu zaka,  berarti orang itu baik.[1]

 Menurut Lisān al-‘Arab, arti dasar dari kata ditinjau dari sudut bahasa adalah suci, tumbuh, berkah, dan terpuji; semuanya digunakan dalam Al-Qur’an dan Hadis.[2]  Tapi yang terkuat menurut Wahidi dan lain-lain, kata dasar zaka berarti bertambah dan tumbuh, sehingga bisa dikatakan tanaman itu zaka, artinya tumbuh, sedangkan tiap sesuatu yang bertambah disebut zaka artinya bertambah. Bila satu tanaman tumbuh tanpa cacat, maka kata zaka disini berarti bersih.[3]

Bila seseorang diberi sifat zaka dalam arti baik, maka berarti orang itu lebih banyak mempunyai sifat yang baik. Seorang itu zaki, berarti sesorang yang memiliki lebih banyak sifat-sifat orang baik, dan kalimat “hakim-zaka-saksi” berarti hakim menyatakan jumlah saksi-saksi diperbanyak.[4]

Zakat dari segi istilah fikih berarti “Sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak” disamping berarti “mengeluarkan jjumlah tertentu  itu sendiri”.[5]

Jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena yang dikeluarkan itu menambah banyak, membuat lebih berarti, dan melindungi kekayaan itu dari kebinasaan, demikian Qardawi mengutip pendapat Nawawi yang mengutip pendapat Wahidi.[6]

Arti “tumbuh” dan “suci” tidak dipakaikan hanya buat kekayaan, tetatpi lebih dari itu, juga buat jiwa orang yang menzakatkannnya, sesuai firman Allah swt dalam QS At-taubah (9) ayat 103:

Yang artinya berbunyi, “Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”[7]

Ibnu Kathir dalam tafsirnya menyatakan bahwa Allahﷻ memerintahkan Rasul-Nya untuk mengambil zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka melalui zakat itu. Pengertian ayat ini umum, sekalipun sebagian ulama mengembalikan damir yang terdapat pada lafaz amwalihim kepada orang-orang yang mengakui dosa-dosa mereka dan yang mencampurbaurkan amal saleh dengan amal buruknya.[8]

Beliau juga mengutip hadis Imam Muslim di dalam kitab Sahih-nya telah meriwayatkan melalui Abdullah ibnu Abu Aufa yang mengatakan bahwa Nabiﷺ apabila menerima zakat dari suatu kaum, maka beliau berdoa untuk mereka. Lalu datanglah ayahku (perawi) dengan membawa zakatnya, maka Rasulullahﷺ berdoa: Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada keluarga Abu Aufa.[9]

Qardawi mengutip pendapat Azhari bahwa zakat juga menciptakan pertumbuhan buat orang-orang miskin. Zakat adalah “cambuk ampuh yang membuat zakat tidak hanya menciptakan pertumbuhan material dan spiritual bagi orang miskin”, tetapi juga “mengembangkan jiwa dan kekayaan orang-orang kaya”.[10]

Setelah kita mengerti maksud dari uraian diatas, maka bisa disimpulkan bahwa   makna zakat adalah berkah, tumbuh, bersih dan baik. Rasulullah mendoakan kepada orang yang menunaikan zakatnya dengan doa semoga Allah swt melimpahkan rahmat kepada muzaki dan keluarganya. Bagi orang miskin, zakat akan menciptakan pertumbuhan material dan spiritual. Sedangkan bagi orang kaya, zakat akan mengembangkan jiwa dan kekayaannya.



[1] Yusuf Qardawi, Fikih Zakat, Muassasat ar-Risalah, Beirut, Libanon, 1973, hlm 34.

[2] Ibid

[3] Ibid

[4] Ibid

[5] Ibid

[6] Ibid

[7] Quran, 9:103

[8] Tafsir Ibnu Kathir

[9] Ibid

[10] Yusuf Qardawi, Fikih Zakat, Muassasat ar-Risalah, Beirut, Libanon, 1973, hlm 35


Senin, 23 Juni 2025

Pendekatan Fenomenologi Edmund Husserl sebagai Metode untuk Memahami Al-Qur'an

 Pendekatan Fenomenologi Edmund Husserl sebagai Metode untuk Memahami Al-Qur'an

Oleh: Suprapto

Mahasiswa S3 Studi Islam UIN Walisongo Semarang

Suprapto059@gmail.com

 

Abstrak

Al-Qur'an sebagai wahyu ilahi menjadi pedoman hidup bagi orang-orang yang meyakininya, oleh karenanya pendekatan pemahaman terhadap Al-Qur'an memerlukan metode yang tidak cukup hanya tekstual, tapi juga kontekstual. Makalah ini akan membahas pendekatan fenomenologi yang dikembangkan Edmund Husserl sebagai metode untuk memahami al-Qur'an al-Karim. Fenomenologi murni, kita gambarkan dan tunjukkan sebagai ilmu yang mendasar bagi filsafat, adalah ilmu yang pada hakikatnya baru yang, sebagai akibat dari kekhasan hakikinya yang paling radikal, jauh dari pemikiran alamiah dan karena itu hanya pada zaman kita ini yang bergerak maju ke arah perkembangan. Ilmu ini disebut ilmu "fenomena".[1] “Husserl juga menpengertiankan transendensi sebagai cara pemberian fenomena yang tidak muncul sekaligus”[2](Cassara, 2022). Dengan menempatkan fenomenologi sebagai pendekatan, makalah ini mengkaji bagaimana Al-Qur'an dapat dipahami sebagai kebenaran hakiki dan petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Melalui konsep-konsep seperti intentionalitas, epoché, dan reduksi fenomenologis, Al-Qur'an dapat dipahami bukan hanya sebagai objek kajian, tetapi sebagai subjek pengalaman spiritual dan kesadaran manusia akan kebenaran kandungan al-Quran itu sendiri. Dari hasil kajian, dapat disimpulkan bahwa pendekatan fenomenologi Edmund Husserl membuka ruang lain dalam memahami dan meyakini ajaran Al-Qur'an secara lebih personal dan mendalam. Pendekatan tersebut dapat memperkaya khazanah dalam memahami Al-Qur'an, terutama dalam konteks kontemporer, dengan tidak menggantikan metode tradisional yang telah ada saat ini.

Kata kunci: Al-Qur’an, fenomenologi, edmund husserl, hermeneutika

 

Qurban Can Social Innovation in Encouraging Distribution Justice

 Qurban Can Social Innovation in Encouraging Distribution Justice

 By: Suprapto, Ahmad Rofiq, Imam Yahya

Walisongo State Islamic University Semarang

Suprapto059@gmail.com

 

Abstract

The uneven distribution of sacrificial animal meat, especially in remote and disaster-affected areas, has given rise to the idea of the birth of canned qurban innovation as an effective and efficient solution. Lazismu as one of the leading Islamic philanthropic institutions in Indonesia has initiated a canned qurban program with the brand "Rendangmu". The method is to process qurban meat into rendang and corned beef in sterile cans that last up to two years without preservatives. This program bridges the gap in qurban animal meat stocks, answers logistical and food security challenges, and expands the scope of qurban benefits to the 3T region and disaster-affected and food-insecure communities. Supported by MUI Fatwa No. 37 of 2019 which allows the postponement and processing of qurban distribution, RendangMu has been distributed nationally and has received legal legitimacy through brand registration at PDKI. In addition, this product has been used in stunting prevention programs and da'wah education through activities such as Tabligh Akbar. With increasingly wide coverage and cross-sector collaboration, this program proves that qurban innovation can be developed in a sharia-compliant, hygienic, and sustainable manner. Writing a paper on RendangMu is important as public and academic literacy to offer a systematic solution to a more equitable and effective distribution of qurban in the modern era.

 

Keywords: Qurban, Lazismu, Rendangmu