Pendekatan Fenomenologi Edmund Husserl sebagai Metode untuk Memahami Al-Qur'an
Oleh:
Suprapto
Mahasiswa
S3 Studi Islam UIN Walisongo Semarang
Suprapto059@gmail.com
Abstrak
Al-Qur'an sebagai wahyu ilahi menjadi pedoman hidup bagi
orang-orang yang meyakininya, oleh karenanya pendekatan pemahaman terhadap
Al-Qur'an memerlukan metode yang tidak cukup hanya tekstual, tapi juga
kontekstual. Makalah ini akan membahas pendekatan fenomenologi yang
dikembangkan Edmund Husserl sebagai metode untuk memahami al-Qur'an al-Karim. Fenomenologi
murni, kita gambarkan dan tunjukkan sebagai ilmu yang mendasar bagi filsafat,
adalah ilmu yang pada hakikatnya baru yang, sebagai akibat dari kekhasan
hakikinya yang paling radikal, jauh dari pemikiran alamiah dan karena itu hanya
pada zaman kita ini yang bergerak maju ke arah perkembangan. Ilmu ini disebut
ilmu "fenomena".[1]
“Husserl juga menpengertiankan transendensi sebagai cara pemberian fenomena
yang tidak muncul sekaligus”[2]
Kata kunci: Al-Qur’an, fenomenologi, edmund husserl,
hermeneutika
Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang menjamin
kebebasan beragama. Kebebasan beragama dalam perundang-undangan Indonesia
meliputi kebebasan memilih kepercayaan (Ketuhanan Yang Maha Esa), beribadah,
dan menyatakan agama.[3]
ذَٰلِكَ ٱلْكِتَـٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ
هُدًۭى لِّلْمُتَّقِينَ ٢
“Kitab (al-Qur’an) ini tidak
ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”[4]
Demikian juga
hadits yang artinya:
“Dari Katsir bin Abdullah dari ayahnya dari kakeknya RA, ia berkata
: Rasulullah SAW pernah bersabda : “Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara
yang kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang
teguh kepada keduanya, yaitu : Kitab Allah dan Sunnah Nabi- Nya”.[5]
Namun faktanya, dalam menghadapi realitas modern, pendekatan
pemahaman terhadap Al-Qur'an memerlukan metode yang tidak cukup hanya secara tekstual
saja. Realitas diatas disebabkan karena al-Qur’an tidak saja mengandung
pesan-pesan tekstual yang secara jelas disebut ayat-ayat “muhkamat”,
namun juga terdiri dari pesan-pesan tersirat yang sering disebut dengan istilah
ayat-ayat "mutasyabihat". Ayat-ayat “muhkamat”. mengatur tentang perintah-perintah, larangan-larangan
dan hukum-hukum yang jelas, bisa langsung dipahami dan dilaksanakan. Ciri dari
ayat-ayat ini adalah jelas, tegas, serta tidak memiliki banyak penafsiran.
Sifatnya jelas secara lafaz dan maknanya. Contohnya misalnya adalah ayat
perintah melaksanakan sholat dan menunaikan zakat.
Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 43, berbunyi:
وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟
مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ ٤٣
“Dan laksanakanlah sholat, tunaikanlah zakat dan rukuklah
beserta orang yang rukuk.”
Demikian juga larangan mencuri, hukum waris, dan sebagainya.
Al-Qur’an juga mengandung ayat-ayat “mutasyabihat",
yang
artinya ayat yang tersirat, tidak langsung, atau memiliki makna yang tidak
sepenuhnya dapat dipahami tanpa penjelasan lebih lanjut. Ayat-ayat ini biasanya
memerlukan tafsir mendalam, pengetahuan bahasa Arab, asbabun nuzul
(sebab turunnya ayat), dan konteks syariat. Ayat ini bisa mengandung
simbol, kiasan, atau menyangkut perkara ghaib. sehingga menuntut pendekatan
yang mengedepankan kesadaran mendalam, misalnya pada ayat perintah berinfaq di
jalan Allah dan janji balasan pahalanya.
Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 261 berbunyi:
مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ
كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنۢبُلَةٍۢ مِّا۟ئَةُ حَبَّةٍۢ
ۗ وَٱللَّهُ يُضَـٰعِفُ لِمَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ ٢٦١
“Perumpamaan
orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang
menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah
melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, Dan Allah Mahaluas, Maha
Mengetahui.”
Disiis lain, filsafat
sepanjang sejarahnya terus mencari jawaban fundamental mengenai keberadaan,
pengetahuan, dan kenyataan. Berbagai masalah memasuki alam pikiran manusia
untuk menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan beragam buah pemikiran telah
dihasilkan, sebagai bagian dari buah kesadarannya.[6]
Sebagai ilmu, filsafat telah lahir sejak kurang lebih duapuluh lima abad yang
lalu.[7]
Di Eropa, selama tahun 1920-an dan 1930-an terjadi
krisis dan sangat tertarik pada apa yang dikenal di dunia sebagai
Existenzphilosophie. Namun, "filsafat eksistensi" bukanlah
satu-satunya gaya berfilsafat kontemporer, untuk gagasan-gagasannya tentang
Fenomenologi Murni dan Filsafat Fenomenologis".
Abad ke-19, filsafat
ditandai oleh dominasi pemikiran positivisme dan rasionalisme, ketika Husserl
hadir dengan gagasan bahwa pengalaman subjektif bukanlah hal yang sekunder,
melainkan pusat dari segala pengetahuan. Ia mengembangkan metode reduksi fenomenologis,
yaitu proses menangguhkan (epoché) semua keyakinan tentang dunia luar agar
dapat memahami bagaimana objek-objek muncul dalam kesadaran. Dengan demikian,
fenomenologi menjadi pendekatan yang tidak hanya deskriptif tetapi juga
reflektif dan kritis terhadap struktur pengalaman manusia.
Pemikiran Edmund
Husserl, dimulai dari sejarah hidup singkatnya, tokoh-tokoh yang mempengaruhi
pemikirannya, hingga analisis sumbangsih fenomenologi terhadap perkembangan
pemikiran manusia. Berbagai kritik terhadap fenomenologi Husserl, baik yang
datang dari ilmuwan sezamannya maupun dari generasi berikutnya, juga turut
dibahas.
Gagasan transendensi
fenomenologis dalam Husserl dan Heidegger awal: Husserl mendefinisikan
transendensi terutama sebagai cara pemberian fenomena yang tidak muncul
sekaligus, tetapi harus diberikan dalam profil parsial; Heidegger
mendefinisikan transendensi terutama sebagai kapasitas Dasein untuk melampaui
entitas menuju keberadaan. Pemahaman yang berbeda tentang transendensi
fenomenologis ini telah menghasilkan perbedaan yang signifikan dalam penerimaan
di antara para fenomenolog agama Prancis. Para pemikir ini menegaskan bahwa
fenomenologi, ketika dipahami dan digunakan dengan tepat, dapat memberi ruang
bagi yang ilahi dan wahyu-Nya, yaitu, untuk transendensi metafisik. Para
pemikir ini lebih menyukai fenomenologi Heidegger daripada Husserl karena
mereka memahami transendensi Heidegger sebagai keterbukaan subjek terhadap
keberadaan, sementara mereka memahami transendensi Husserl sebagai batas,
sebagai ketidakmampuan untuk menangkap objek-objek duniawi. Saya mengambil
fenomenologi tentang pemberian milik Jean-Luc Marion sebagai "studi
kasus" untuk menggambarkan hal ini. Akhirnya, saya berpendapat bahwa
preferensi untuk Heidegger daripada Husserl ini salah tempat dan harus dibalik.
Pembacaan yang cermat terhadap Fenomenologi Kehidupan Religius karya Heidegger
menunjukkan bahwa Dasein terbatas pada kemungkinan-kemungkinannya sendiri dan
tidak dapat terbuka terhadap hubungan dengan yang ilahi. Sebaliknya,
fenomenologi Husserl memberikan keterbukaan radikal yang diperlukan untuk
menyambut wahyu. Sementara Husserl tidak dapat membayangkan "Tuhan
duniawi," struktur horizonalitas dan temporalitas mencirikan subjek yang
mampu memiliki keterbukaan yang autentik terhadap wahyu.[8]
Biografi Singkat Edmund Husserl
Husserl dilahirkan di
kota Prossnitz (Moravia) tanggal 8 April 1859. Keluarganya menganut Yahudi
non-ortodoks; Husserl beserta istrinya kemudian pindah agama menjadi Kristen
Protestan. Mereka dikaruniai tiga orang anak, dan salah satunya ikut dalam
Perang Dunia I dan meninggal pada perang tersebut. Pada tahun 1876–1878 Husserl
belajar astronomi di Leipzig, dan kuliah dalam bidang matematika, fisika, dan
filsafat. Dia juga menyimak kuliah-kuliah filsafat karya Wilhelm Wundt. (Wundt
adalah pencetus lembaga pertama untuk psikologi eksperimental.) Mentor Husserl
adalah Thomas Masaryk, mantan murid Brentano, yang kemudian menjadi presiden
pertama Cekoslowakia. Pada tahun 1878–1881 Husserl kemudian meneruskan studinya
dalam ilmu matematika, fisika, dan filsafat di Berlin.[9]
Tokoh yang
mempengaruhi pemikiran Husserl antara lain adalah Franz Brentano,[10]
terutama melalui pemikiran tentang intensionalitas—bahwa kesadaran selalu
berkaitan dengan objek. Konsep ini menjadi fondasi dari fenomenologi Husserl.
Carl Stumpf[11]
berperan dalam membentuk pendekatan nyata dan analitis Husserl terhadap
fenomena mental.
Konsep-Konsep Penting dalam
Fenomenologi Husserl
1. Intensionalitas
(Intentionality)
Husserl terkenal karena diperkenalkan ke dunia filsafat oleh
Franz Brentano (1838–1917), yang memperkenalkan kembali gagasan abad
pertengahan tentang "intensionalitas" ke dalam refleksi filosofis
kontemporernya; Husserl kemudian secara mandiri mengembangkan konsep tersebut
dalam Logical Investigations-nya, karya yang menandai dimulainya fenomenologi.[12]
Intensionalitas
adalah ciri utama dari setiap pengalaman kesadaran, yaitu bahwa kesadaran
selalu sadar akan sesuatu. Tidak ada kesadaran yang berdiri sendiri; setiap
akta kesadaran (seperti berpikir, merasakan, membayangkan) selalu mengacu
kepada suatu objek, baik nyata maupun imajinatif.[13]
Konsep ini mengkritik pandangan nyata yang menganggap kesadaran sebagai entitas
pasif yang menerima data dari dunia luar. Sebaliknya, Husserl menyatakan bahwa
kesadaran itu aktif membentuk makna terhadap dunia.
2. Epoché (Pengurungan
atau Penangguhan Penilaian)
Epoché adalah
tindakan menangguhkan semua penilaian atau asumsi tentang keberadaan dunia
luar. Tujuannya adalah untuk menempatkan segala sesuatu dalam tanda kurung,
agar dapat melihat bagaimana dunia itu terlihat dalam kesadaran tanpa campur
tangan prasangka atau keyakinan apriori. Tujuannya adalah untuk memfokuskan
perhatian pada bagaimana objek dunia tersebut dihadirkan dalam kesadaran kita.
Contoh dari pengurungan ini adalah ketika kita membayangkan realita sebuah
gunung. Dari kejauhan, gunung sering terlihat berwarna biru atau kelabu
kebiruan akibat efek atmosfer yang disebut aerial perspective, di mana
partikel udara dan uap air membiaskan cahaya yang menyebabkan warna-warna cerah
meredup. Namun, saat mendakinya, warna gunung berubah menjadi lebih jelas dan
beragam. Pepohonan yang berwarna hijau, tanah yang berwarna cokelat, batu yang
abu-abu, serta bunga yang berwarna-warni, atau lumut yang mulai tampak nyata.
Perbedaan ini mencerminkan bagaimana jarak dan kondisi cahaya memengaruhi
persepsi visual kita terhadap lanskap alam.
Dalam karya Patočka, epoché, yang secara
tradisional dipahami sebagai langkah mundur radikal dari dunia, harus dimaknai
secara berbeda, tidak hanya sebagai kebebasan negatif, tetapi juga sebagai
landasan politik positif.[14]
3. Reduksi
Fenomenologis (Phenomenological Reduction)
Reduksi
fenomenologis merupakan inti dari metode fenomenologi Edmund Husserl
yang bertujuan untuk kembali pada hakikat pengalaman murni dengan cara
menyisihkan segala prasangka, asumsi, dan pengetahuan sebelumnya tentang
realitas yang sedang diamati. Dalam pendekatan ini, seseorang diajak untuk
menangguhkan (atau dalam istilah Husserl disebut epoché) keyakinan
terhadap keberadaan dunia luar sebagaimana biasanya dipercayai dalam kehidupan
sehari-hari. Reduksi ini bukan berarti menolak realitas eksternal, melainkan
menghentikan penilaian tentang keberadaannya agar pengalaman dapat ditelaah
sebagaimana ia hadir dalam kesadaran secara langsung. Melalui langkah ini,
subjek tidak lagi memandang objek sebagai sesuatu yang "sudah jadi"
atau "sudah dikenal", tetapi membuka diri pada bagaimana objek itu
menampakkan dirinya kepada kesadaran.
Dengan begitu,
pengalaman akan suatu hal dapat dikaji secara lebih jernih dan mendalam, tanpa
campur tangan kerangka berpikir sebelumnya, baik dari sains, agama, maupun
budaya. Contohnya, ketika seseorang melihat sebuah pohon, biasanya ia langsung
mengidentifikasinya sebagai "pohon" berdasarkan pengetahuan dan
pengalaman sebelumnya. Namun melalui reduksi fenomenologis, seseorang mencoba
mengesampingkan segala pengetahuan itu dan memusatkan perhatian hanya pada
bagaimana pohon itu muncul dalam kesadarannya—bentuknya, warnanya, kesan
rindangnya, cahaya yang menimpa daunnya, dan bagaimana semuanya itu dialami
secara langsung oleh subjek. Dalam konteks ini, fenomena tidak dilihat sebagai
sesuatu yang objektif di luar sana, tetapi sebagai sesuatu yang "diberikan"
kepada kesadaran dalam suatu momen pengalaman tertentu.
Reduksi ini
membawa peneliti atau pengamat pada pemahaman yang lebih murni dan esensial
terhadap objek pengalaman, dengan fokus pada korelasi antara subjek dan objek
sebagaimana termanifestasi dalam kesadaran. Selain itu, reduksi fenomenologis
juga membebaskan pemikiran dari kecenderungan naturalistik—yakni kebiasaan
berpikir bahwa realitas semata-mata terdiri dari objek-objek yang dapat
dijelaskan secara ilmiah. Husserl menegaskan bahwa sebelum sains dapat
menjelaskan dunia, harus terlebih dahulu dipahami bagaimana dunia itu hadir
secara langsung dalam pengalaman manusia.
Dalam konteks
ini, reduksi fenomenologis membuka jalan menuju penemuan hakikat esensial dari
sesuatu, yang tidak tergantung pada keberadaan fisik atau interpretasi
sosialnya, melainkan bagaimana ia dialami secara subjektif. Metode ini sangat
penting dalam berbagai bidang, termasuk filsafat, psikologi, pendidikan, bahkan
teologi, karena membantu memahami struktur makna yang mendasari kesadaran
manusia dalam hubungannya dengan dunia. Oleh sebab itu, reduksi fenomenologis
tidak sekadar langkah teknis, tetapi sebuah upaya mendalam untuk menyentuh
fondasi kesadaran dan pengalaman manusia, yang menjadi dasar dari segala
pengetahuan dan pemaknaan dalam hidup.
Dengan kata
lain, konsep ini merupakan proses penyaringan realitas hingga kita mencapai
inti dari pengalaman murni. Setelah melakukan epoché, kita melakukan reduksi
untuk melihat esensi dari suatu fenomena. Tujuannya adalah menemukan struktur
dasar dari pengalaman tanpa gangguan interpretasi kultural, psikologis, atau
ilmiah. Langkah-langkahnya adalah dengan cara melakukan epoché (penangguhan),
kemudian fokus pada bagaimana sesuatu hadir dalam kesadaran, dan kemudian
temukan “esensi” dari pengalaman tersebut. Contohnya adalah dalam pengalaman
merasakan "takut", reduksi bertujuan menemukan elemen universal dari
rasa takut: adakah objek ancaman, keterbatasan kontrol, dan reaksi fisik, bukan
pada detail spesifik pengalaman itu.
4. Noesis dan Noema
Dua unsur,
noesis dan noema, yang sering dianggap sebagai beberapa istilah Husserl yang
paling bermasalah—dan, jika boleh saya katakan, paling konservatif.[15]
5. Esensi
(Wesensschau)
Esensi adalah
hakikat murni dari suatu fenomena—apa yang membuat sesuatu menjadi dirinya
sendiri. Metode yang digunakan adalah melalui proses intuisi esensial, yakni
merenungi suatu pengalaman secara berulang dalam variasi hingga tersingkap
struktur tetap yang menyusunnya. Misalnya ketika kita memikirkan apa esensi
dari lampu? Apakah harus bulat? Tidak. Tapi lampu selalu punya fungsi sebagai
alat penerang, itulah esensinya. Contoh yang lainnya adalah ketika kita
memikirkan handphone, apakah mereknya? Apakah
harus merek tertentu? Tidak. Tapi handphone adalah alat komunikasi jarak
jauh. Itulah esensinya. Tujuan dari metode ini adalah
Menemukan dasar universal dari pengalaman manusia yang melampaui pengalaman
individual.
6. Dunia Kehidupan
(Lebenswelt)
Konsep ini
dikembangkan lebih lanjut oleh Husserl di masa akhir hidupnya. Lebenswelt
berarti dunia yang kita alami sehari-hari secara langsung dan pra-reflektif,
sebelum diberi penjelasan ilmiah. Contoh:
Seseorang yang minum kopi di pagi hari tidak berpikir tentang komposisi
kimianya, tetapi mengalaminya sebagai kehangatan, aroma, kenikmatan. Contoh
lainnya adalah ketika seseorang memandangi gunung dari kejauhan, dia tidak
berfikir tentang pohonnya, rumput,batu, tanah dan lumutnya, tapi yang ia
rasakan adalah keindahannya. Itulah Lebenswelt. Husserl mengkritik sains modern
yang kehilangan kontak dengan dunia kehidupan karena terlalu teknis dan
objektif. Ia ingin mengembalikan fokus filsafat pada dunia sebagaimana dialami
manusia secara langsung.
7. Transendental Ego
Dalam
pembahasan ini ada perbedaan antara Husserl dan Heidegger. Perbedaan antara
Edmund Husserl dan Martin Heidegger berdasarkan perbedaan Pascal antara esprit
de géometrie dan esprit de finesse. Menurut Pascal, "prinsip"
esensial yang mendominasi kehidupan persepsi kita tidak dapat ditunjukkan
dengan jelas dan percaya diri dengan cara yang mirip dengan logika dan
matematika, tetapi harus dipahami dengan cara yang lebih spontan atau intuitif.
Tidak mengherankan bahwa Husserl, yang awalnya adalah seorang mahasiswa
matematika, mungkin tampak lebih dekat dengan esprit de géometrie, sedangkan
Heidegger, yang terlatih dalam teologi dan tertarik pada penyair dan pemikir
puitis, lebih dekat dengan esprit de finesse.
Perbedaan ini
jelas dari gaya penulisan kedua tokoh penting ini. Perbedaan gaya ini juga
terkait dengan substansi filosofi masing-masing, dan dengan pendekatan yang
mereka rekomendasikan untuk mengeksplorasi kehidupan subjektif. Perbedaan
terkait menyangkut bagaimana masing-masing ahli teori menanggapi apa yang
disebut Husserl sebagai "paradoks subjektivitas manusia" dan apa yang
kemudian disebut Michel Foucault sebagai "doublet
empiris-transendental": fakta bahwa, dalam melakukan fenomenologi,
kesadaran manusia ada sebagai subjek dan objek pengetahuan kita. Husserl
sebagian besar menekankan keuntungan, epistemologis dan eksistensial, yang
dapat diberikan oleh refleksivitas potensial ini. Heidegger lebih tertarik pada
hambatan atau jebakan yang ditimbulkannya—baik untuk pengetahuan diri yang
akurat maupun untuk kehidupan yang autentik. Isu-isu ini dibahas dalam
kaitannya dengan "sikap alami" dan "kehidupan sehari-hari,"
dan dengan landasan linguistik keberadaan dan pengetahuan manusia—terutama
karena isu-isu ini muncul dalam Les mots et les choses karya Foucault dan
Meditasi Cartesian Keenam karya Eugen Fink.[16]
Husserl percaya
bahwa di balik semua pengalaman terdapat kesadaran murni atau subjek
transendental, yang menjadi pusat dari seluruh struktur pengalaman. Bukan ego
psikologis (yang berubah-ubah), tetapi subjek yang tidak berubah, yang
“melihat” dan “menyadari”. Konsep ini dikritik oleh murid-muridnya karena
terlalu mengabsolutkan subjek dan mengabaikan keberadaan historis-kultural
manusia.
8. Eidetik
Edmund Husserl
sering mengkarakterisasi esensi dan hukum eidetik dalam istilah normatif.
Namun, banyak pernyataannya yang terkait dengan hal ini sangat membingungkan
karena tampak bertentangan dengan pemahaman umum Husserl tentang normativitas.
Sebagian besar ketegangan yang tampak antara kedua dimensi pemikiran filosofis
Husserl ini. Menurut pandangannya,
esensi dan hukum eidetik tidak pernah secara intrinsik normatif, dan bahwa
tidak semua esensi dan tidak semua hukum eidetik yang sesuai dapat berfungsi sebagai
norma untuk contohnya. Namun, yang terpenting, menurut Husserl, esensi dan
hukum eidetik dapat berfungsi sebagai norma untuk berbagai tindakan subjek.
Dengan demikian menjelaskan dalam pengertian apa Husserl berpikir bahwa esensi
dan hukum eidetik dapat memiliki fungsi ini. Hukum eidetik formal dapat
menimbulkan norma deontik dan evaluatif untuk penilaian, evaluasi, keinginan,
dan tindakan kehendak yang benar atau rasional. Esensi material dan hukum
eidetik material juga memiliki fungsi normatif untuk penilaian. Ini menunjukkan
bagaimana pandangan Husserl memberi ruang bagi norma yang tidak bergantung pada
konteks atau berdasar secara subjektif.[17]
Sumbangsih Fenomenologi pada Pemikiran
Manusia
Fenomenologi Edmund
Husserl memberikan banyak sumbangsih penting. Diantaranya bahwa pengalaman
kesadaran sebagai titik tolak utama dalam memahami realitas. Husserl
menunjukkan bahwa objektivitas ilmiah tidak bebas dari prasangka dan harus
dikaji kembali secara fenomenologis. Dengan reduksi fenomenologis dan epoché,
Husserl menciptakan metode untuk mengkaji kesadaran secara reflektif dan
sistematis. Dalam volume kedua Logical Investigations, Husserl secara singkat
membahas pertanyaan apakah fenomenolog harus menggolongkan perasaan (Gefühle)
sebagai pengalaman yang intensional. Perasaan yang tidak intensional secara
eksklusif terbatas pada apa yang disebut Husserl sebagai perasaan sensorik
(sinnliche Gefühle) atau sensasi afektif (Gefühlsempfindungen).[18]
Pertemuan Islam dan Ilmu Pengetahuan
Islam mendorong dan mengilhami penemuan
ilmiah. Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan agama lainya adalah
perhatian dan penekananya terhadap persoalan ilmu. Banyak sekali ajaran-ajaran dalam Islam, baik
itu yang berasal dari al-Qur’an dan Haditst yang berisi tentang bagaimana Islam
menekankan akan pentingnya ilmu, bagaimana Islam mewajibkan umatnya untuk
menuntut ilmu, dan bagaimana Islam memerintahkan umatnya untuk melakukan penelitian
terhadap ayat-ayat Allah yang meliputi: ayat Qur’aniyyah maupun Kauniyyah,
baik yang terkait dengan fenomena alam, maupun fenomena sosial.[19]
Seperti yang diperintahkan Allah didalam al-Qur’an surat al-Alaq 1-5 yang
berbunyi:
ٱقْرَأْ
بِٱسْمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ ١ خَلَقَ
ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٢ ٱقْرَأْ وَرَبُّكَ ٱلْأَكْرَمُ ٣ ٱلَّذِي عَلَّمَ
بِٱلۡقَلَمِ ٤ عَلَّمَ ٱلْإِنسَـٰنَ مَا لَمْ يَعْلَمْ ٥
“Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia)
dengan pena. Dia mengajarkan
manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Upaya-upaya untuk
melakukan penelitian terhadap ayat-ayat Allah dalam al-Qur’an dapat diperkaya
salah satunya dengan pendekatan fenomenologi sebagai metode.
Al-Qur'an
sebagai Kitab Wahyu dan Fenomena Kesadaran
Wahyu adalah penyampaian firman tuhan
kepada utusan-Nya sebagai petunjuk hidup bagi manusia. Dalam Islam, wahyu
bersifat transenden, universal, dan kekal. Al-Qur'an bukan hanya dokumen
sejarah atau hukum, tetapi juga sarana komunikasi yang menghubungkan manusia
dengan Tuhannya. Al-Qur'an menggunakan bahasa yang mengaktifkan kesadaran
manusia, seperti: "Tidakkah kamu berpikir?", "Tidakkah kamu
merenungkan?", "Tidakkah kamu memperhatikan?". Ayat-ayat ini
menunjukkan bahwa wahyu menuntut kesadaran reflektif dari pembacanya.
Dalam kerangka fenomenologi, wahyu dapat
dipahami sebagai pengalaman spiritual yang dihadirkan kepada kesadaran. Wahyu
bukan hanya dipahami secara intelektual, tetapi dihayati secara eksistensial. Konsep
epoché dalam fenomenologi dapat disamakan dengan tadabbur, yaitu proses
mengosongkan diri dari bias duniawi agar makna Al-Qur'an hadir secara jernih
dan utuh. Kesadaran beriman selalu mengarah kepada Allah dan firman-Nya. Intentionalitas
dalam konteks iman menjadikan Al-Qur'an sebagai pusat perhatian batin yang
terus menerus diresapi dan dimaknai.
Fenomenologi
sebagai Pendekatan Memahami Al-Qur'an
Fenomenologi adalah istilah umum yang merujuk pada gerakan
filosofis dan berbagai pendekatan penelitian. Fenomenologi hermeneutik adalah
metodologi yang tidak ditetapkan atau ditentukan secara kaku.[20]
Penerapan Reduksi Fenomenologis
terhadap Pemahaman Al-Qur’an dengan cara menangguhkan terlebih dahulu
tafsir yang bersifat dogmatis, ideologis, atau historis. Selanjutnya adalah
berusaha mencari pengalaman tentang ayat-ayat sebagai fenomena yang hidup dalam
kesadaran pembaca/pendengar. Misalnya ketika membaca QS Al-Baqarah: 2 → “Kitab
ini tidak ada keraguan padanya…” tidak hanya diterima sebagaimana tekstual
saja, namun juga sebagai keyakinan kesadaran murni. Dengan fenomenologi,
Al-Qur'an tidak hanya dilihat sebagai teks suci, tetapi sebagai fenomena ilahi
yang hadir dalam kesadaran manusia untuk mengubah cara berpikir, merasa,
meyakini dan bertindak. Pendekatan ini menjadi jembatan antara filsafat modern
dan spiritualitas Islam, menunjukkan bahwa iman dan akal dapat bersinergi dalam
memahami wahyu ilahi.
Kritik dan Batasan
Fenomenologi bersifat personal
subjektif, akan sangat rawan jika Al-Qur’an ditafsirkan terlalu bebas sesuai
pengalaman dan kesadaran pribadi. Maka di dalam Islam, al-Qur’an tetap
membutuhkan bimbingan ilmu tafsir dan para ulama. Reduksi fenomenologis bisa
melengkapi, bukan menggantikan metode tradisional yang ada saat ini.
Kesimpulan
Pendekatan fenomenologi Edmund Husserl membuka
ruang lain dalam memahami Al-Qur'an secara lebih mendalam dan eksistensial.
Melalui konsep-konsep seperti intentionalitas, epoché, dan reduksi
fenomenologis, Al-Qur'an dapat dipahami bukan hanya sebagai objek kajian,
tetapi sebagai subjek pengalaman spiritual yang menghidupkan kesadaran manusia.
Ini menunjukkan bahwa metode fenomenologi dapat memperkaya khazanah pemahaman
Al-Qur'an, terutama dalam konteks kontemporer, dengan tidak menggantikan metode
tradisional yang telah ada saat ini.
Daftar
Pustaka
Kementrian
Agama, al-Qur'an al-Karim, Jakarta
Alsaigh R, Coyne Doing a Hermeneutic Phenomenology
Research Underpinned by Gadamer’s Philosophy: A Framework to Facilitate Data
Analysis IInternational
Journal of Qualitative Methods (2021) 20
Andrews, I. (2020). Chance,
Phenomenology and Aesthetics: Heidegger, Derrida and Contingency in Twentieth
Century Art. In Chance Phenomenology and Aesthetics Heidegger Derrida and
Contingency in Twentieth Century Art. https://www.scopus.com/inward/record.uri?partnerID=HzOxMe3b&scp=85168012475&origin=inward
Artur, Z. (2020). A
speculative turn or a return to the sources of thinking? About the “quartets”
by Martin Heidegger and Graham Harman. Przestrzenie Teorii, 34, 245–265.
https://doi.org/10.14746/PT.2020.34.11
Ayala-Colqui, J. (2023).
The animal, is it a possible otherness? Phenomenological inquiries from husserl
and heidegger. Trans Form Acao, 46(2), 133–158.
https://doi.org/10.1590/0101-3173.2023.v46n2.p133
Belt, J. (2022). Eidetic
Variation: a Self-Correcting and Integrative Account. Axiomathes, 32, 405–434. https://doi.org/10.1007/s10516-021-09611-1
Bicudo, M. A. V. (2020).
THE ORIGIN OF NUMBER AND THE ORIGIN OF GEOMETRY: ISSUES RAISED AND CONCEPTIONS
ASSUMED BY EDMUND HUSSERL. Revista Pesquisa Qualitativa, 8(18), 387–418.
https://doi.org/10.33361/RPQ.2020.v.8.n.18.337
Buongiorno, F. (2021a).
Drive and Object: The Intentionality of Desire in Edmund Husserl. Iride, 34(3),
543–558. https://doi.org/10.1414/103690
Buongiorno, F. (2021b).
Drive and Object: The Intentionality of Desire in Edmund Husserl. Iride, 34(3),
543–558. https://doi.org/10.1414/103690
Carta, E. (2021). Husserl
on Eidetic Norms. Husserl Studies, 37(2), 127–146.
https://doi.org/10.1007/s10743-020-09284-5
Cassara, B. (2022).
Phenomenology and Transcendence: On Openness and Metaphysics in Husserl and
Heidegger. Religions, 13(11). https://doi.org/10.3390/rel13111127
Cauvin, J. P. (2020). From
phenomenology to the philosophy of the concept: Jean cavaillès as a reader of
Edmund Husserl. Hopos, 10(1), 24–47. https://doi.org/10.1086/707600
Claudio, R. (2021). The
concept of “tradition” in edmund husserl. Philosophies, 6(1).
https://doi.org/10.3390/philosophies6010001
Crişan, H. T. (2020).
Illness and two meanings of phenomenology. Journal of Evaluation in Clinical
Practice, 26(2), 425–430. https://doi.org/10.1111/jep.13350
Doyon, M. (2024).
Phenomenology and the norms of perception. In Phenomenology and the Norms of
Perception. https://doi.org/10.1093/9780191993527.001.0001
Dr. H. Subhan Abdullah Acim, MA
& Muhammad Fikri, MA, Arba’in Hadits (Perspektif Ontology Dakwah), Mataram,
2021
DuFour, T. (2023).
Environmentality: A Phenomenology of Generative Space in Husserl. Research in
Phenomenology, 53(3), 331–358. https://doi.org/10.1163/15691640-12341531
Edmund
Husserl, Ideas Pertaining to A Pure Phenomenology and to A Phenomenologycal
Philosopy (1983)
Friesen, N. (2022).
Phenomenology and education: researching pedagogical experience. In
International Encyclopedia of Education Fourth Edition (pp. 131–140).
https://doi.org/10.1016/B978-0-12-818630-5.11015-2
Gros, A. (2023). What is
phenomenology? A brief and up-to-date introduction for sociologists. Revista
Colombiana De Sociologia, 46(1), 293–324.
https://doi.org/10.15446/rcs.v46n1/94966
Haensler, P. P. (2020).
Phenomenology to the letter: Husserl and literature. In Phenomenology to the
Letter Husserl and Literature. https://doi.org/10.1515/9783110654585
Heffernan, G. (2022a).
Husserl’s Phenomenology of Existence: A Very Brief Introduction. In
Contributions To Phenomenology (Vol. 120, pp. 1–30). Springer Nature.
https://doi.org/10.1007/978-3-031-05095-4_1
Heffernan, G. (2022b).
Husserl’s Phenomenology of Existence: A Very Brief Introduction. In
Contributions to Phenomenology (Vol. 120, pp. 1–30).
https://doi.org/10.1007/978-3-031-05095-4_1
Janoušek, H. (2020). Early
Phenomenology in Prague. In Contributions to Phenomenology (Vol. 113, pp.
17–34). https://doi.org/10.1007/978-3-030-39623-7_2
Jardine, J. (2020). Edmund
Husserl. In Routledge Handbook of Phenomenology of Emotion (pp. 53–62).
https://doi.org/10.4324/9781315180786-4
Jujun S.
Suriansumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
2012.
Jujun S.
Suriansumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
2012.
Kinkaid, J. (2020).
Phenomenology and the stratification of reality. European Journal of
Philosophy, 28(4), 892–910. https://doi.org/10.1111/ejop.12546
Kirsberg, I. W. (2023). Is
Causality Admissible in Phenomenology? A Corrective to Edmund Husserl’s Idea.
Phainomena, 32(124), 203–220. https://doi.org/10.32022/PHI32.2023.124-125.9
Kivle, I. (2020). The
review of the international interdisciplinary conference ⇜to let things be! edmund
husserl 160, Martin Heidegger 130” (December 10-12, 2019, Riga, Latvia). In
Horizon Studies in Phenomenology (Vol. 9, Issue 1, pp. 373–381).
https://doi.org/10.21638/2226-5260-2020-9-1-373-381
Lathifah
A, Hapsin A, Hidayatulloh M, The Construction of Religious Freedom in
Indonesian Legislation: A Perspective of Maqāsid Hifz Al-Dīn Samarah (2022) 6(1) 369-390
Lewandowski, R. (2021). THE
TRUTH, ITS ONTOLOGICAL ASPECTS and the IDEA of INFINITE INTELLECT in EDMUND
HUSSERL’S LOGICAL INVESTIGATIONS. Roczniki Filozoficzne, 69(4), 83–124.
https://doi.org/10.18290/RF21694-5
Loidolt, S. (2024). EDMUND
HUSSERL: Idealistic Politics and Communal Spirit. In Routledge Handbook of
Political Phenomenology (pp. 18–29). https://doi.org/10.4324/9781003197430-4
Marosan, B. P. (2020).
Edmund husserl’s constructive phenomenology in the c-manuscripts and other late
research manuscripts. Phainomena, 29(112), 5–24.
https://doi.org/10.32022/PHI29.2020.112-113.1
McGillen, M. (2020).
Husserl’s image worlds and the language of phenomenology. In Phenomenology to
the Letter Husserl and Literature (pp. 23–44).
https://doi.org/10.1515/9783110654585-002
Meacham, D. (2021). Epoché
and institution: the fundamental tension in Jan Patočka’s phenomenology.
Studies in East European Thought, 73(3), 309–326.
https://doi.org/10.1007/s11212-020-09398-8
Mezei, B. M. (2022).
Apocalyptic Phenomenology: The Culmination of the Phenomenological Movement.
Religions, 13(11). https://doi.org/10.3390/rel13111077
Nizhnikov, S. A. (2020).
A.F. losev’s dialectics and phenomenology. Voprosy Filosofii, 6(2020), 116–125.
https://doi.org/10.21146/0042-8744-2020-6-116-125
Pizzi, M. I. (2020).
“Reaching God without God”. The relationship between phenomenology and theology
in Edmund Husserl and Jean-Luc Marion. Arete, 32(2), 417–441.
https://doi.org/10.18800/arete.202002.006
Poitras, G. (2021).
Phenomenology and heterodox economics. Review of Social Economy, 79(2),
333–356. https://doi.org/10.1080/00346764.2019.1669811
Pula, B. (2024). Alfred
Schutz, Phenomenology, and the Renewal of Interpretive Social Science. In
Alfred Schutz Phenomenology and the Renewal of Interpretive Social Science.
https://doi.org/10.4324/9781003461098
Rodemeyer, L. (2020).
Noesis, and noema, and gender-oh my! Journal of Speculative Philosophy, 34(3),
248–264. https://doi.org/10.5325/jspecphil.34.3.0248
Rozzoni, C. (2021).
Intentionality, Phantasy, and Image Consciousness in Edmund Husserl. In
Palgrave Handbook of Image Studies (pp. 249–263).
https://doi.org/10.1007/978-3-030-71830-5_15
Santis, D. De. (2022).
Theodor Conrad, Zum Gedächtnis Edmund Husserls (Ein unveröffentlichter Aufsatz
aus der Bayerischen Staatsbibliothek). Husserl Studies, 38(1), 55–66.
https://doi.org/10.1007/s10743-021-09289-8
Santis, D. De. (2023).
Edmund Husserl’s Cartesian Meditations: Commentary, interpretations,
discussions. In Edmund Husserl S Cartesian Meditations Commentary
Interpretations Discussions.
https://www.scopus.com/inward/record.uri?partnerID=HzOxMe3b&scp=85175148187&origin=inward
Sass, L. (2021a). Husserl,
Heidegger, and the paradox of subjectivity. Continental Philosophy Review,
54(3), 295–317. https://doi.org/10.1007/s11007-021-09540-1
Sass, L. (2021b). Husserl,
Heidegger, and the paradox of subjectivity. Continental Philosophy Review,
54(3), 295–317. https://doi.org/10.1007/s11007-021-09540-1
Sepúlveda, J. G. M. (2020).
The phenomenology of edmund husserl as an epistemological basis of qualitative
methods. Revista Notas Historicas Y Geograficas, 25, 1–25.
https://www.scopus.com/inward/record.uri?partnerID=HzOxMe3b&scp=85107857583&origin=inward
Sholihan, Falsafah Kesatuan Ilmu:
Paradigma Keilmuan UIN Walisongo, Semarang, RaSail Media Grup, 2021
Sholihan, Falsafah Kesatuan Ilmu:
Paradigma Keilmuan UIN Walisongo, Semarang, RaSail Media Grup, 2021
Stephenson, J. (2024).
Ambient Temporalities: Rethinking Object-Oriented Time through Kant, Husserl,
and Heidegger. Open Philosophy, 7(1). https://doi.org/10.1515/opphil-2024-0035
Toronyai, G. (2024). On the
Personal, Intersubjective, and Metaphysical Senses of Death: An Inquiry into
Edmund Husserl’s Transcendental Phenomenological Approach to Death. Husserl
Studies, 40(1), 67–88. https://doi.org/10.1007/s10743-023-09339-3
Varga, P. A. (2022). Edmund
Husserl on the Historicity of the Gospels. A Different Look at Husserl’s
Philosophy of Religion and his Philosophy of the History of Philosophy. Husserl
Studies, 38(1), 37–54. https://doi.org/10.1007/s10743-021-09298-7
Varga, P. A. (2023). An
eyewitness account of Edmund Husserl and Freiburg phenomenology in 1923–24.
Towards reclaiming the plurivocity of historical sources of the
Phenomenological Movement. Continental Philosophy Review, 56(4), 517–533. https://doi.org/10.1007/s11007-023-09619-x
[1] Edmund Husserl, Ideas
Pertaining to A Pure Phenomenology and to A Phenomenologycal Philosopy (1983)
[2]
Cassara B, Phenomenology and Transcendence: On Openness and Metaphysics in
Husserl and Heidegger (2022) 13(11)
[3]
The Construction of Religious Freedom in Indonesian Legislation: A Perspective
of Maqāsid Hifz Al-DīnLathifah A, Hapsin A, Hidayatulloh MSamarah
(2022) 6(1) 369-390
[4] Al-Qur’an Al Karim
[5] Dr.
H. Subhan Abdullah Acim, MA & Muhammad Fikri, MA, Arba’in Hadits
(Perspektif Ontology Dakwah), Mataram, 2021, hlm 30
[6] Jujun
S. Suriansumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2012, hlm 2
[7] Sholihan, Falsafah Kesatuan Ilmu: Paradigma Keilmuan UIN Walisongo,
Semarang, RaSail Media Grup, 2021,hlm 2
[8] Phenomenology
and Transcendence: On Openness and Metaphysics in Husserl and Heidegger
,Cassara B, Religions (2022) 13(11)
[9]
https://plato.stanford.edu/entries/husserl/#LifWor
[10]
https://plato.stanford.edu/entries/husserl/#LifWor
[11]
https://plato.stanford.edu/entries/husserl/#LifWor
[12] Intentionality,
Phantasy, and Image Consciousness in Edmund Husserl, Rozzoni C, Palgrave
Handbook of Image Studies
[13]
Buongiorno F, Drive and Object: The Intentionality of Desire in Edmund Husserl,
Iride (2021) 34(3) 543-558
[14]
Meacham D, Epoché and institution: the fundamental tension in Jan Patočka’s
phenomenology Studies in East European Thought (2021) 73(3) 309-326
[15] Noesis,
and noema, and gender-oh my!Rodemeyer L, Journal of Speculative Philosophy
(2020) 34(3) 248-264
[16] Husserl,
Heidegger, and the paradox of subjectivity, Sass L, Continental Philosophy
Review (2021) 54(3) 295-317
[17]
Husserl on Eidetic Norms, Carta E, Husserl Studies (2021) 37(2)
127-146
[18] Edmund
Husserl, Jardine J, Routledge Handbook of Phenomenology of Emotion
[19] Sholihan,
Falsafah Kesatuan Ilmu: Paradigma Keilmuan UIN Walisongo, Semarang, RaSail
Media Grup, 2021, hlm. 66
[20]
Doing a Hermeneutic Phenomenology Research Underpinned by Gadamer’s Philosophy:
A Framework to Facilitate Data AnalysisAlsaigh R, Coyne IInternational
Journal of Qualitative Methods (2021) 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Setiap komentar hendaknya bernilai positif, memperhatikan etika dan tidak menyinggung SARA. Terimakasih.