Halaman

Senin, 23 Juni 2025

Pendekatan Fenomenologi Edmund Husserl sebagai Metode untuk Memahami Al-Qur'an

 Pendekatan Fenomenologi Edmund Husserl sebagai Metode untuk Memahami Al-Qur'an

Oleh: Suprapto

Mahasiswa S3 Studi Islam UIN Walisongo Semarang

Suprapto059@gmail.com

 

Abstrak

Al-Qur'an sebagai wahyu ilahi menjadi pedoman hidup bagi orang-orang yang meyakininya, oleh karenanya pendekatan pemahaman terhadap Al-Qur'an memerlukan metode yang tidak cukup hanya tekstual, tapi juga kontekstual. Makalah ini akan membahas pendekatan fenomenologi yang dikembangkan Edmund Husserl sebagai metode untuk memahami al-Qur'an al-Karim. Fenomenologi murni, kita gambarkan dan tunjukkan sebagai ilmu yang mendasar bagi filsafat, adalah ilmu yang pada hakikatnya baru yang, sebagai akibat dari kekhasan hakikinya yang paling radikal, jauh dari pemikiran alamiah dan karena itu hanya pada zaman kita ini yang bergerak maju ke arah perkembangan. Ilmu ini disebut ilmu "fenomena".[1] “Husserl juga menpengertiankan transendensi sebagai cara pemberian fenomena yang tidak muncul sekaligus”[2](Cassara, 2022). Dengan menempatkan fenomenologi sebagai pendekatan, makalah ini mengkaji bagaimana Al-Qur'an dapat dipahami sebagai kebenaran hakiki dan petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Melalui konsep-konsep seperti intentionalitas, epoché, dan reduksi fenomenologis, Al-Qur'an dapat dipahami bukan hanya sebagai objek kajian, tetapi sebagai subjek pengalaman spiritual dan kesadaran manusia akan kebenaran kandungan al-Quran itu sendiri. Dari hasil kajian, dapat disimpulkan bahwa pendekatan fenomenologi Edmund Husserl membuka ruang lain dalam memahami dan meyakini ajaran Al-Qur'an secara lebih personal dan mendalam. Pendekatan tersebut dapat memperkaya khazanah dalam memahami Al-Qur'an, terutama dalam konteks kontemporer, dengan tidak menggantikan metode tradisional yang telah ada saat ini.

Kata kunci: Al-Qur’an, fenomenologi, edmund husserl, hermeneutika

 

Pendahuluan

Indonesia adalah negara yang menjamin kebebasan beragama. Kebebasan beragama dalam perundang-undangan Indonesia meliputi kebebasan memilih kepercayaan (Ketuhanan Yang Maha Esa), beribadah, dan menyatakan agama.[3] (Lathifah et al., 2022). Al-Qur'an sebagai wahyu ilahi menjadi pedoman hidup bagi umat Islam. Di dalam surat al-Baqarah ayat 2 berbunyi:

 

 ذَٰلِكَ ٱلْكِتَـٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًۭى لِّلْمُتَّقِينَ ٢

 

“Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”[4]

 

Demikian juga hadits yang artinya:

“Dari Katsir bin Abdullah dari ayahnya dari kakeknya RA, ia berkata : Rasulullah SAW pernah bersabda : “Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu : Kitab Allah dan Sunnah Nabi- Nya”.[5]

Namun faktanya, dalam menghadapi realitas modern, pendekatan pemahaman terhadap Al-Qur'an memerlukan metode yang tidak cukup hanya secara tekstual saja. Realitas diatas disebabkan karena al-Qur’an tidak saja mengandung pesan-pesan tekstual yang secara jelas disebut ayat-ayat “muhkamat”, namun juga terdiri dari pesan-pesan tersirat yang sering disebut dengan istilah ayat-ayat "mutasyabihat". Ayat-ayat “muhkamat”.  mengatur tentang perintah-perintah, larangan-larangan dan hukum-hukum yang jelas, bisa langsung dipahami dan dilaksanakan. Ciri dari ayat-ayat ini adalah jelas, tegas, serta tidak memiliki banyak penafsiran. Sifatnya jelas secara lafaz dan maknanya. Contohnya misalnya adalah ayat perintah melaksanakan sholat dan menunaikan zakat.

Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 43, berbunyi:

وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ ٤٣

“Dan laksanakanlah sholat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang yang rukuk.”

Demikian juga larangan mencuri, hukum waris, dan sebagainya. Al-Qur’an juga mengandung ayat-ayat “mutasyabihat", yang artinya ayat yang tersirat, tidak langsung, atau memiliki makna yang tidak sepenuhnya dapat dipahami tanpa penjelasan lebih lanjut. Ayat-ayat ini biasanya memerlukan tafsir mendalam, pengetahuan bahasa Arab, asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), dan konteks syariat. Ayat ini bisa mengandung simbol, kiasan, atau menyangkut perkara ghaib. sehingga menuntut pendekatan yang mengedepankan kesadaran mendalam, misalnya pada ayat perintah berinfaq di jalan Allah dan janji balasan pahalanya.

Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 261 berbunyi:

مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنۢبُلَةٍۢ مِّا۟ئَةُ حَبَّةٍۢ ۗ وَٱللَّهُ يُضَـٰعِفُ لِمَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ ٢٦١

“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, Dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.”

Disiis lain, filsafat sepanjang sejarahnya terus mencari jawaban fundamental mengenai keberadaan, pengetahuan, dan kenyataan. Berbagai masalah memasuki alam pikiran manusia untuk menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan, sebagai bagian dari buah kesadarannya.[6] Sebagai ilmu, filsafat telah lahir sejak kurang lebih duapuluh lima abad yang lalu.[7] Di Eropa, selama tahun 1920-an dan 1930-an terjadi krisis dan sangat tertarik pada apa yang dikenal di dunia sebagai Existenzphilosophie. Namun, "filsafat eksistensi" bukanlah satu-satunya gaya berfilsafat kontemporer, untuk gagasan-gagasannya tentang Fenomenologi Murni dan Filsafat Fenomenologis".(Heffernan, 2022) Di antara berbagai pendekatan filsafat kekinian, fenomenologi yang diperkenalkan oleh Edmund Husserl merupakan salah satu pemikiran yang paling berpengaruh dan kompleks. Husserl tidak hanya mengembangkan cara berpikir yang baru, tetapi juga menawarkan tumpuan pilihan bagi filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang berdasar pada pengalaman murni. Fenomenologi menawarkan suatu metode untuk kembali kepada “realitas itu sendiri” (zu den Sachen selbst), yakni bahwa realitas seperti terlihat pada kesadaran tanpa prasangka atau asumsi metafisis.

Abad ke-19, filsafat ditandai oleh dominasi pemikiran positivisme dan rasionalisme, ketika Husserl hadir dengan gagasan bahwa pengalaman subjektif bukanlah hal yang sekunder, melainkan pusat dari segala pengetahuan. Ia mengembangkan metode reduksi fenomenologis, yaitu proses menangguhkan (epoché) semua keyakinan tentang dunia luar agar dapat memahami bagaimana objek-objek muncul dalam kesadaran. Dengan demikian, fenomenologi menjadi pendekatan yang tidak hanya deskriptif tetapi juga reflektif dan kritis terhadap struktur pengalaman manusia.

Pemikiran Edmund Husserl, dimulai dari sejarah hidup singkatnya, tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikirannya, hingga analisis sumbangsih fenomenologi terhadap perkembangan pemikiran manusia. Berbagai kritik terhadap fenomenologi Husserl, baik yang datang dari ilmuwan sezamannya maupun dari generasi berikutnya, juga turut dibahas.

Gagasan transendensi fenomenologis dalam Husserl dan Heidegger awal: Husserl mendefinisikan transendensi terutama sebagai cara pemberian fenomena yang tidak muncul sekaligus, tetapi harus diberikan dalam profil parsial; Heidegger mendefinisikan transendensi terutama sebagai kapasitas Dasein untuk melampaui entitas menuju keberadaan. Pemahaman yang berbeda tentang transendensi fenomenologis ini telah menghasilkan perbedaan yang signifikan dalam penerimaan di antara para fenomenolog agama Prancis. Para pemikir ini menegaskan bahwa fenomenologi, ketika dipahami dan digunakan dengan tepat, dapat memberi ruang bagi yang ilahi dan wahyu-Nya, yaitu, untuk transendensi metafisik. Para pemikir ini lebih menyukai fenomenologi Heidegger daripada Husserl karena mereka memahami transendensi Heidegger sebagai keterbukaan subjek terhadap keberadaan, sementara mereka memahami transendensi Husserl sebagai batas, sebagai ketidakmampuan untuk menangkap objek-objek duniawi. Saya mengambil fenomenologi tentang pemberian milik Jean-Luc Marion sebagai "studi kasus" untuk menggambarkan hal ini. Akhirnya, saya berpendapat bahwa preferensi untuk Heidegger daripada Husserl ini salah tempat dan harus dibalik. Pembacaan yang cermat terhadap Fenomenologi Kehidupan Religius karya Heidegger menunjukkan bahwa Dasein terbatas pada kemungkinan-kemungkinannya sendiri dan tidak dapat terbuka terhadap hubungan dengan yang ilahi. Sebaliknya, fenomenologi Husserl memberikan keterbukaan radikal yang diperlukan untuk menyambut wahyu. Sementara Husserl tidak dapat membayangkan "Tuhan duniawi," struktur horizonalitas dan temporalitas mencirikan subjek yang mampu memiliki keterbukaan yang autentik terhadap wahyu.[8](Cassara, 2022).

 

Biografi Singkat Edmund Husserl

Husserl dilahirkan di kota Prossnitz (Moravia) tanggal 8 April 1859. Keluarganya menganut Yahudi non-ortodoks; Husserl beserta istrinya kemudian pindah agama menjadi Kristen Protestan. Mereka dikaruniai tiga orang anak, dan salah satunya ikut dalam Perang Dunia I dan meninggal pada perang tersebut. Pada tahun 1876–1878 Husserl belajar astronomi di Leipzig, dan kuliah dalam bidang matematika, fisika, dan filsafat. Dia juga menyimak kuliah-kuliah filsafat karya Wilhelm Wundt. (Wundt adalah pencetus lembaga pertama untuk psikologi eksperimental.) Mentor Husserl adalah Thomas Masaryk, mantan murid Brentano, yang kemudian menjadi presiden pertama Cekoslowakia. Pada tahun 1878–1881 Husserl kemudian meneruskan studinya dalam ilmu matematika, fisika, dan filsafat di Berlin.[9]

Tokoh yang mempengaruhi pemikiran Husserl antara lain adalah Franz Brentano,[10] terutama melalui pemikiran tentang intensionalitas—bahwa kesadaran selalu berkaitan dengan objek. Konsep ini menjadi fondasi dari fenomenologi Husserl. Carl Stumpf[11] berperan dalam membentuk pendekatan nyata dan analitis Husserl terhadap fenomena mental.

Konsep-Konsep Penting dalam Fenomenologi Husserl

1. Intensionalitas (Intentionality)

Husserl terkenal karena diperkenalkan ke dunia filsafat oleh Franz Brentano (1838–1917), yang memperkenalkan kembali gagasan abad pertengahan tentang "intensionalitas" ke dalam refleksi filosofis kontemporernya; Husserl kemudian secara mandiri mengembangkan konsep tersebut dalam Logical Investigations-nya, karya yang menandai dimulainya fenomenologi.[12](Rozzoni, 2021)

Intensionalitas adalah ciri utama dari setiap pengalaman kesadaran, yaitu bahwa kesadaran selalu sadar akan sesuatu. Tidak ada kesadaran yang berdiri sendiri; setiap akta kesadaran (seperti berpikir, merasakan, membayangkan) selalu mengacu kepada suatu objek, baik nyata maupun imajinatif.[13] (Buongiorno, 2021). Sebagai contoh adalah ketika kita mengingat masa kecil, kesadaran kita diarahkan pada kenangan tersebut. Objeknya mungkin tidak hadir secara fisik, tetapi ia tetap menjadi arah dari akta kesadaran kita.
Konsep ini mengkritik pandangan nyata yang menganggap kesadaran sebagai entitas pasif yang menerima data dari dunia luar. Sebaliknya, Husserl menyatakan bahwa kesadaran itu aktif membentuk makna terhadap dunia.

 

2. Epoché (Pengurungan atau Penangguhan Penilaian)

Epoché adalah tindakan menangguhkan semua penilaian atau asumsi tentang keberadaan dunia luar. Tujuannya adalah untuk menempatkan segala sesuatu dalam tanda kurung, agar dapat melihat bagaimana dunia itu terlihat dalam kesadaran tanpa campur tangan prasangka atau keyakinan apriori. Tujuannya adalah untuk memfokuskan perhatian pada bagaimana objek dunia tersebut dihadirkan dalam kesadaran kita. Contoh dari pengurungan ini adalah ketika kita membayangkan realita sebuah gunung. Dari kejauhan, gunung sering terlihat berwarna biru atau kelabu kebiruan akibat efek atmosfer yang disebut aerial perspective, di mana partikel udara dan uap air membiaskan cahaya yang menyebabkan warna-warna cerah meredup. Namun, saat mendakinya, warna gunung berubah menjadi lebih jelas dan beragam. Pepohonan yang berwarna hijau, tanah yang berwarna cokelat, batu yang abu-abu, serta bunga yang berwarna-warni, atau lumut yang mulai tampak nyata. Perbedaan ini mencerminkan bagaimana jarak dan kondisi cahaya memengaruhi persepsi visual kita terhadap lanskap alam.

 Dalam karya Patočka, epoché, yang secara tradisional dipahami sebagai langkah mundur radikal dari dunia, harus dimaknai secara berbeda, tidak hanya sebagai kebebasan negatif, tetapi juga sebagai landasan politik positif.[14] (Meacham, 2021)

 

3. Reduksi Fenomenologis (Phenomenological Reduction)

Reduksi fenomenologis merupakan inti dari metode fenomenologi Edmund Husserl yang bertujuan untuk kembali pada hakikat pengalaman murni dengan cara menyisihkan segala prasangka, asumsi, dan pengetahuan sebelumnya tentang realitas yang sedang diamati. Dalam pendekatan ini, seseorang diajak untuk menangguhkan (atau dalam istilah Husserl disebut epoché) keyakinan terhadap keberadaan dunia luar sebagaimana biasanya dipercayai dalam kehidupan sehari-hari. Reduksi ini bukan berarti menolak realitas eksternal, melainkan menghentikan penilaian tentang keberadaannya agar pengalaman dapat ditelaah sebagaimana ia hadir dalam kesadaran secara langsung. Melalui langkah ini, subjek tidak lagi memandang objek sebagai sesuatu yang "sudah jadi" atau "sudah dikenal", tetapi membuka diri pada bagaimana objek itu menampakkan dirinya kepada kesadaran.

Dengan begitu, pengalaman akan suatu hal dapat dikaji secara lebih jernih dan mendalam, tanpa campur tangan kerangka berpikir sebelumnya, baik dari sains, agama, maupun budaya. Contohnya, ketika seseorang melihat sebuah pohon, biasanya ia langsung mengidentifikasinya sebagai "pohon" berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya. Namun melalui reduksi fenomenologis, seseorang mencoba mengesampingkan segala pengetahuan itu dan memusatkan perhatian hanya pada bagaimana pohon itu muncul dalam kesadarannya—bentuknya, warnanya, kesan rindangnya, cahaya yang menimpa daunnya, dan bagaimana semuanya itu dialami secara langsung oleh subjek. Dalam konteks ini, fenomena tidak dilihat sebagai sesuatu yang objektif di luar sana, tetapi sebagai sesuatu yang "diberikan" kepada kesadaran dalam suatu momen pengalaman tertentu.

Reduksi ini membawa peneliti atau pengamat pada pemahaman yang lebih murni dan esensial terhadap objek pengalaman, dengan fokus pada korelasi antara subjek dan objek sebagaimana termanifestasi dalam kesadaran. Selain itu, reduksi fenomenologis juga membebaskan pemikiran dari kecenderungan naturalistik—yakni kebiasaan berpikir bahwa realitas semata-mata terdiri dari objek-objek yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Husserl menegaskan bahwa sebelum sains dapat menjelaskan dunia, harus terlebih dahulu dipahami bagaimana dunia itu hadir secara langsung dalam pengalaman manusia.

Dalam konteks ini, reduksi fenomenologis membuka jalan menuju penemuan hakikat esensial dari sesuatu, yang tidak tergantung pada keberadaan fisik atau interpretasi sosialnya, melainkan bagaimana ia dialami secara subjektif. Metode ini sangat penting dalam berbagai bidang, termasuk filsafat, psikologi, pendidikan, bahkan teologi, karena membantu memahami struktur makna yang mendasari kesadaran manusia dalam hubungannya dengan dunia. Oleh sebab itu, reduksi fenomenologis tidak sekadar langkah teknis, tetapi sebuah upaya mendalam untuk menyentuh fondasi kesadaran dan pengalaman manusia, yang menjadi dasar dari segala pengetahuan dan pemaknaan dalam hidup.

Dengan kata lain, konsep ini merupakan proses penyaringan realitas hingga kita mencapai inti dari pengalaman murni. Setelah melakukan epoché, kita melakukan reduksi untuk melihat esensi dari suatu fenomena. Tujuannya adalah menemukan struktur dasar dari pengalaman tanpa gangguan interpretasi kultural, psikologis, atau ilmiah. Langkah-langkahnya adalah dengan cara melakukan epoché (penangguhan), kemudian fokus pada bagaimana sesuatu hadir dalam kesadaran, dan kemudian temukan “esensi” dari pengalaman tersebut. Contohnya adalah dalam pengalaman merasakan "takut", reduksi bertujuan menemukan elemen universal dari rasa takut: adakah objek ancaman, keterbatasan kontrol, dan reaksi fisik, bukan pada detail spesifik pengalaman itu.

 

4. Noesis dan Noema

Dua unsur, noesis dan noema, yang sering dianggap sebagai beberapa istilah Husserl yang paling bermasalah—dan, jika boleh saya katakan, paling konservatif.[15](Rodemeyer, 2020) Noesis merupakan aspek aktif dari kesadaran, yakni cara kita mempersepsi, menilai, atau mengingat sesuatu. Kemudian Noema adalah isi atau objek dari akta kesadaran tersebut, yakni apa yang disadari dalam cara tertentu. Contohnya adalah saat seseorang mengingat ayahnya, maka Noesis = tindakan mengingat, perasaan yang menyertainya dan Noema = citra atau kenangan tentang ayah. Manfaat dari konsep ini membantu menerangkan bahwa objek kesadaran bukan hanya sesuatu di luar diri, melainkan sesuatu yang memiliki bentuk tertentu dalam cara kesadaran mengarah padanya.

 

5. Esensi (Wesensschau)

Esensi adalah hakikat murni dari suatu fenomena—apa yang membuat sesuatu menjadi dirinya sendiri. Metode yang digunakan adalah melalui proses intuisi esensial, yakni merenungi suatu pengalaman secara berulang dalam variasi hingga tersingkap struktur tetap yang menyusunnya. Misalnya ketika kita memikirkan apa esensi dari lampu? Apakah harus bulat? Tidak. Tapi lampu selalu punya fungsi sebagai alat penerang, itulah esensinya. Contoh yang lainnya adalah ketika kita memikirkan handphone, apakah mereknya? Apakah  harus merek tertentu? Tidak. Tapi handphone adalah alat komunikasi jarak jauh. Itulah esensinya. Tujuan dari metode ini adalah
Menemukan dasar universal dari pengalaman manusia yang melampaui pengalaman individual.

 

6. Dunia Kehidupan (Lebenswelt)

Konsep ini dikembangkan lebih lanjut oleh Husserl di masa akhir hidupnya. Lebenswelt berarti dunia yang kita alami sehari-hari secara langsung dan pra-reflektif, sebelum diberi penjelasan ilmiah. Contoh:
Seseorang yang minum kopi di pagi hari tidak berpikir tentang komposisi kimianya, tetapi mengalaminya sebagai kehangatan, aroma, kenikmatan. Contoh lainnya adalah ketika seseorang memandangi gunung dari kejauhan, dia tidak berfikir tentang pohonnya, rumput,batu, tanah dan lumutnya, tapi yang ia rasakan adalah keindahannya. Itulah Lebenswelt. Husserl mengkritik sains modern yang kehilangan kontak dengan dunia kehidupan karena terlalu teknis dan objektif. Ia ingin mengembalikan fokus filsafat pada dunia sebagaimana dialami manusia secara langsung.

 

7. Transendental Ego

Dalam pembahasan ini ada perbedaan antara Husserl dan Heidegger. Perbedaan antara Edmund Husserl dan Martin Heidegger berdasarkan perbedaan Pascal antara esprit de géometrie dan esprit de finesse. Menurut Pascal, "prinsip" esensial yang mendominasi kehidupan persepsi kita tidak dapat ditunjukkan dengan jelas dan percaya diri dengan cara yang mirip dengan logika dan matematika, tetapi harus dipahami dengan cara yang lebih spontan atau intuitif. Tidak mengherankan bahwa Husserl, yang awalnya adalah seorang mahasiswa matematika, mungkin tampak lebih dekat dengan esprit de géometrie, sedangkan Heidegger, yang terlatih dalam teologi dan tertarik pada penyair dan pemikir puitis, lebih dekat dengan esprit de finesse.

Perbedaan ini jelas dari gaya penulisan kedua tokoh penting ini. Perbedaan gaya ini juga terkait dengan substansi filosofi masing-masing, dan dengan pendekatan yang mereka rekomendasikan untuk mengeksplorasi kehidupan subjektif. Perbedaan terkait menyangkut bagaimana masing-masing ahli teori menanggapi apa yang disebut Husserl sebagai "paradoks subjektivitas manusia" dan apa yang kemudian disebut Michel Foucault sebagai "doublet empiris-transendental": fakta bahwa, dalam melakukan fenomenologi, kesadaran manusia ada sebagai subjek dan objek pengetahuan kita. Husserl sebagian besar menekankan keuntungan, epistemologis dan eksistensial, yang dapat diberikan oleh refleksivitas potensial ini. Heidegger lebih tertarik pada hambatan atau jebakan yang ditimbulkannya—baik untuk pengetahuan diri yang akurat maupun untuk kehidupan yang autentik. Isu-isu ini dibahas dalam kaitannya dengan "sikap alami" dan "kehidupan sehari-hari," dan dengan landasan linguistik keberadaan dan pengetahuan manusia—terutama karena isu-isu ini muncul dalam Les mots et les choses karya Foucault dan Meditasi Cartesian Keenam karya Eugen Fink.[16](Sass, 2021)

Husserl percaya bahwa di balik semua pengalaman terdapat kesadaran murni atau subjek transendental, yang menjadi pusat dari seluruh struktur pengalaman. Bukan ego psikologis (yang berubah-ubah), tetapi subjek yang tidak berubah, yang “melihat” dan “menyadari”. Konsep ini dikritik oleh murid-muridnya karena terlalu mengabsolutkan subjek dan mengabaikan keberadaan historis-kultural manusia.

 

8. Eidetik

Edmund Husserl sering mengkarakterisasi esensi dan hukum eidetik dalam istilah normatif. Namun, banyak pernyataannya yang terkait dengan hal ini sangat membingungkan karena tampak bertentangan dengan pemahaman umum Husserl tentang normativitas. Sebagian besar ketegangan yang tampak antara kedua dimensi pemikiran filosofis Husserl ini.  Menurut pandangannya, esensi dan hukum eidetik tidak pernah secara intrinsik normatif, dan bahwa tidak semua esensi dan tidak semua hukum eidetik yang sesuai dapat berfungsi sebagai norma untuk contohnya. Namun, yang terpenting, menurut Husserl, esensi dan hukum eidetik dapat berfungsi sebagai norma untuk berbagai tindakan subjek. Dengan demikian menjelaskan dalam pengertian apa Husserl berpikir bahwa esensi dan hukum eidetik dapat memiliki fungsi ini. Hukum eidetik formal dapat menimbulkan norma deontik dan evaluatif untuk penilaian, evaluasi, keinginan, dan tindakan kehendak yang benar atau rasional. Esensi material dan hukum eidetik material juga memiliki fungsi normatif untuk penilaian. Ini menunjukkan bagaimana pandangan Husserl memberi ruang bagi norma yang tidak bergantung pada konteks atau berdasar secara subjektif.[17](Carta, 2021)

 

Sumbangsih Fenomenologi pada Pemikiran Manusia

Fenomenologi Edmund Husserl memberikan banyak sumbangsih penting. Diantaranya bahwa pengalaman kesadaran sebagai titik tolak utama dalam memahami realitas. Husserl menunjukkan bahwa objektivitas ilmiah tidak bebas dari prasangka dan harus dikaji kembali secara fenomenologis. Dengan reduksi fenomenologis dan epoché, Husserl menciptakan metode untuk mengkaji kesadaran secara reflektif dan sistematis. Dalam volume kedua Logical Investigations, Husserl secara singkat membahas pertanyaan apakah fenomenolog harus menggolongkan perasaan (Gefühle) sebagai pengalaman yang intensional. Perasaan yang tidak intensional secara eksklusif terbatas pada apa yang disebut Husserl sebagai perasaan sensorik (sinnliche Gefühle) atau sensasi afektif (Gefühlsempfindungen).[18](Jardine, 2020)

 

Pertemuan Islam dan Ilmu Pengetahuan

Islam mendorong dan mengilhami penemuan ilmiah. Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan agama lainya adalah perhatian dan penekananya terhadap persoalan ilmu.  Banyak sekali ajaran-ajaran dalam Islam, baik itu yang berasal dari al-Qur’an dan Haditst yang berisi tentang bagaimana Islam menekankan akan pentingnya ilmu, bagaimana Islam mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu, dan bagaimana Islam memerintahkan umatnya untuk melakukan penelitian terhadap ayat-ayat Allah yang meliputi: ayat Qur’aniyyah maupun Kauniyyah, baik yang terkait dengan fenomena alam, maupun fenomena sosial.[19] Seperti yang diperintahkan Allah didalam al-Qur’an surat al-Alaq 1-5 yang berbunyi:

ٱقْرَأْ بِٱسْمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ ١  خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٢ ٱقْرَأْ وَرَبُّكَ ٱلْأَكْرَمُ ٣ ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ ٤ عَلَّمَ ٱلْإِنسَـٰنَ مَا لَمْ يَعْلَمْ ٥

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Upaya-upaya untuk melakukan penelitian terhadap ayat-ayat Allah dalam al-Qur’an dapat diperkaya salah satunya dengan pendekatan fenomenologi sebagai metode.

 

Al-Qur'an sebagai Kitab Wahyu dan Fenomena Kesadaran

Wahyu adalah penyampaian firman tuhan kepada utusan-Nya sebagai petunjuk hidup bagi manusia. Dalam Islam, wahyu bersifat transenden, universal, dan kekal. Al-Qur'an bukan hanya dokumen sejarah atau hukum, tetapi juga sarana komunikasi yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya. Al-Qur'an menggunakan bahasa yang mengaktifkan kesadaran manusia, seperti: "Tidakkah kamu berpikir?", "Tidakkah kamu merenungkan?", "Tidakkah kamu memperhatikan?". Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa wahyu menuntut kesadaran reflektif dari pembacanya.

Dalam kerangka fenomenologi, wahyu dapat dipahami sebagai pengalaman spiritual yang dihadirkan kepada kesadaran. Wahyu bukan hanya dipahami secara intelektual, tetapi dihayati secara eksistensial. Konsep epoché dalam fenomenologi dapat disamakan dengan tadabbur, yaitu proses mengosongkan diri dari bias duniawi agar makna Al-Qur'an hadir secara jernih dan utuh. Kesadaran beriman selalu mengarah kepada Allah dan firman-Nya. Intentionalitas dalam konteks iman menjadikan Al-Qur'an sebagai pusat perhatian batin yang terus menerus diresapi dan dimaknai.

 

Fenomenologi sebagai Pendekatan Memahami Al-Qur'an

Fenomenologi adalah istilah umum yang merujuk pada gerakan filosofis dan berbagai pendekatan penelitian. Fenomenologi hermeneutik adalah metodologi yang tidak ditetapkan atau ditentukan secara kaku.[20] (Alsaigh & Coyne, 2021). Ketika kita membaca atau mendengarkan Al-Qur'an, biasanya kita sudah membawa banyak "kacamata"; tafsir dari guru atau ulama tertentu, latar belakang budaya atau mazhab, pendekatan hukum, teologi, atau sejarah yang menggiring kita kepada banyak asumsi-asumsi personal. Fenomenologi membuka ruang pembacaan Al-Qur'an yang lebih personal, di mana setiap individu mengalami makna secara unik dalam konteks kehidupannya sendiri. Kita diajak untuk menangguhkan dahulu semua “asumsi-asumsi” itu, dan mengalami Al-Qur'an secara langsung: bagaimana ayat-ayat itu menghadirkan makna dalam kesadaran kita sebagai manusia beriman. Ini bukan menolak tafsir, tapi menunda terlebih dahulu pengaruh luar, agar bisa merasakan wahyu itu secara otentik.

Penerapan Reduksi Fenomenologis terhadap Pemahaman Al-Qur’an dengan cara menangguhkan terlebih dahulu tafsir yang bersifat dogmatis, ideologis, atau historis. Selanjutnya adalah berusaha mencari pengalaman tentang ayat-ayat sebagai fenomena yang hidup dalam kesadaran pembaca/pendengar. Misalnya ketika membaca QS Al-Baqarah: 2 → “Kitab ini tidak ada keraguan padanya…” tidak hanya diterima sebagaimana tekstual saja, namun juga sebagai keyakinan kesadaran murni. Dengan fenomenologi, Al-Qur'an tidak hanya dilihat sebagai teks suci, tetapi sebagai fenomena ilahi yang hadir dalam kesadaran manusia untuk mengubah cara berpikir, merasa, meyakini dan bertindak. Pendekatan ini menjadi jembatan antara filsafat modern dan spiritualitas Islam, menunjukkan bahwa iman dan akal dapat bersinergi dalam memahami wahyu ilahi.

 

Kritik dan Batasan

Fenomenologi bersifat personal subjektif, akan sangat rawan jika Al-Qur’an ditafsirkan terlalu bebas sesuai pengalaman dan kesadaran pribadi. Maka di dalam Islam, al-Qur’an tetap membutuhkan bimbingan ilmu tafsir dan para ulama. Reduksi fenomenologis bisa melengkapi, bukan menggantikan metode tradisional yang ada saat ini.

 

Kesimpulan

Pendekatan fenomenologi Edmund Husserl membuka ruang lain dalam memahami Al-Qur'an secara lebih mendalam dan eksistensial. Melalui konsep-konsep seperti intentionalitas, epoché, dan reduksi fenomenologis, Al-Qur'an dapat dipahami bukan hanya sebagai objek kajian, tetapi sebagai subjek pengalaman spiritual yang menghidupkan kesadaran manusia. Ini menunjukkan bahwa metode fenomenologi dapat memperkaya khazanah pemahaman Al-Qur'an, terutama dalam konteks kontemporer, dengan tidak menggantikan metode tradisional yang telah ada saat ini.

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Kementrian Agama, al-Qur'an al-Karim, Jakarta

Alsaigh R, Coyne Doing a Hermeneutic Phenomenology Research Underpinned by Gadamer’s Philosophy: A Framework to Facilitate Data Analysis IInternational Journal of Qualitative Methods (2021) 20

Andrews, I. (2020). Chance, Phenomenology and Aesthetics: Heidegger, Derrida and Contingency in Twentieth Century Art. In Chance Phenomenology and Aesthetics Heidegger Derrida and Contingency in Twentieth Century Art. https://www.scopus.com/inward/record.uri?partnerID=HzOxMe3b&scp=85168012475&origin=inward

Artur, Z. (2020). A speculative turn or a return to the sources of thinking? About the “quartets” by Martin Heidegger and Graham Harman. Przestrzenie Teorii, 34, 245–265. https://doi.org/10.14746/PT.2020.34.11

Ayala-Colqui, J. (2023). The animal, is it a possible otherness? Phenomenological inquiries from husserl and heidegger. Trans Form Acao, 46(2), 133–158. https://doi.org/10.1590/0101-3173.2023.v46n2.p133

Belt, J. (2022). Eidetic Variation: a Self-Correcting and Integrative Account. Axiomathes, 32, 405–434. https://doi.org/10.1007/s10516-021-09611-1

Bicudo, M. A. V. (2020). THE ORIGIN OF NUMBER AND THE ORIGIN OF GEOMETRY: ISSUES RAISED AND CONCEPTIONS ASSUMED BY EDMUND HUSSERL. Revista Pesquisa Qualitativa, 8(18), 387–418. https://doi.org/10.33361/RPQ.2020.v.8.n.18.337

Buongiorno, F. (2021a). Drive and Object: The Intentionality of Desire in Edmund Husserl. Iride, 34(3), 543–558. https://doi.org/10.1414/103690

Buongiorno, F. (2021b). Drive and Object: The Intentionality of Desire in Edmund Husserl. Iride, 34(3), 543–558. https://doi.org/10.1414/103690

Carta, E. (2021). Husserl on Eidetic Norms. Husserl Studies, 37(2), 127–146. https://doi.org/10.1007/s10743-020-09284-5

Cassara, B. (2022). Phenomenology and Transcendence: On Openness and Metaphysics in Husserl and Heidegger. Religions, 13(11). https://doi.org/10.3390/rel13111127

Cauvin, J. P. (2020). From phenomenology to the philosophy of the concept: Jean cavaillès as a reader of Edmund Husserl. Hopos, 10(1), 24–47. https://doi.org/10.1086/707600

Claudio, R. (2021). The concept of “tradition” in edmund husserl. Philosophies, 6(1). https://doi.org/10.3390/philosophies6010001

Crişan, H. T. (2020). Illness and two meanings of phenomenology. Journal of Evaluation in Clinical Practice, 26(2), 425–430. https://doi.org/10.1111/jep.13350

Doyon, M. (2024). Phenomenology and the norms of perception. In Phenomenology and the Norms of Perception. https://doi.org/10.1093/9780191993527.001.0001

Dr. H. Subhan Abdullah Acim, MA & Muhammad Fikri, MA, Arba’in Hadits (Perspektif Ontology Dakwah), Mataram, 2021

DuFour, T. (2023). Environmentality: A Phenomenology of Generative Space in Husserl. Research in Phenomenology, 53(3), 331–358. https://doi.org/10.1163/15691640-12341531

Edmund Husserl, Ideas Pertaining to A Pure Phenomenology and to A Phenomenologycal Philosopy (1983)

Friesen, N. (2022). Phenomenology and education: researching pedagogical experience. In International Encyclopedia of Education Fourth Edition (pp. 131–140). https://doi.org/10.1016/B978-0-12-818630-5.11015-2

Gros, A. (2023). What is phenomenology? A brief and up-to-date introduction for sociologists. Revista Colombiana De Sociologia, 46(1), 293–324. https://doi.org/10.15446/rcs.v46n1/94966

Haensler, P. P. (2020). Phenomenology to the letter: Husserl and literature. In Phenomenology to the Letter Husserl and Literature. https://doi.org/10.1515/9783110654585

Heffernan, G. (2022a). Husserl’s Phenomenology of Existence: A Very Brief Introduction. In Contributions To Phenomenology (Vol. 120, pp. 1–30). Springer Nature. https://doi.org/10.1007/978-3-031-05095-4_1

Heffernan, G. (2022b). Husserl’s Phenomenology of Existence: A Very Brief Introduction. In Contributions to Phenomenology (Vol. 120, pp. 1–30). https://doi.org/10.1007/978-3-031-05095-4_1

Janoušek, H. (2020). Early Phenomenology in Prague. In Contributions to Phenomenology (Vol. 113, pp. 17–34). https://doi.org/10.1007/978-3-030-39623-7_2

Jardine, J. (2020). Edmund Husserl. In Routledge Handbook of Phenomenology of Emotion (pp. 53–62). https://doi.org/10.4324/9781315180786-4

Jujun S. Suriansumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012.

Jujun S. Suriansumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012.

Kinkaid, J. (2020). Phenomenology and the stratification of reality. European Journal of Philosophy, 28(4), 892–910. https://doi.org/10.1111/ejop.12546

Kirsberg, I. W. (2023). Is Causality Admissible in Phenomenology? A Corrective to Edmund Husserl’s Idea. Phainomena, 32(124), 203–220. https://doi.org/10.32022/PHI32.2023.124-125.9

Kivle, I. (2020). The review of the international interdisciplinary conference to let things be! edmund husserl 160, Martin Heidegger 130” (December 10-12, 2019, Riga, Latvia). In Horizon Studies in Phenomenology (Vol. 9, Issue 1, pp. 373–381). https://doi.org/10.21638/2226-5260-2020-9-1-373-381

Lathifah A, Hapsin A, Hidayatulloh M, The Construction of Religious Freedom in Indonesian Legislation: A Perspective of Maqāsid Hifz Al-Dīn   Samarah (2022) 6(1) 369-390

Lewandowski, R. (2021). THE TRUTH, ITS ONTOLOGICAL ASPECTS and the IDEA of INFINITE INTELLECT in EDMUND HUSSERL’S LOGICAL INVESTIGATIONS. Roczniki Filozoficzne, 69(4), 83–124. https://doi.org/10.18290/RF21694-5

Loidolt, S. (2024). EDMUND HUSSERL: Idealistic Politics and Communal Spirit. In Routledge Handbook of Political Phenomenology (pp. 18–29). https://doi.org/10.4324/9781003197430-4

Marosan, B. P. (2020). Edmund husserl’s constructive phenomenology in the c-manuscripts and other late research manuscripts. Phainomena, 29(112), 5–24. https://doi.org/10.32022/PHI29.2020.112-113.1

McGillen, M. (2020). Husserl’s image worlds and the language of phenomenology. In Phenomenology to the Letter Husserl and Literature (pp. 23–44). https://doi.org/10.1515/9783110654585-002

Meacham, D. (2021). Epoché and institution: the fundamental tension in Jan Patočka’s phenomenology. Studies in East European Thought, 73(3), 309–326. https://doi.org/10.1007/s11212-020-09398-8

Mezei, B. M. (2022). Apocalyptic Phenomenology: The Culmination of the Phenomenological Movement. Religions, 13(11). https://doi.org/10.3390/rel13111077

Nizhnikov, S. A. (2020). A.F. losev’s dialectics and phenomenology. Voprosy Filosofii, 6(2020), 116–125. https://doi.org/10.21146/0042-8744-2020-6-116-125

Pizzi, M. I. (2020). “Reaching God without God”. The relationship between phenomenology and theology in Edmund Husserl and Jean-Luc Marion. Arete, 32(2), 417–441. https://doi.org/10.18800/arete.202002.006

Poitras, G. (2021). Phenomenology and heterodox economics. Review of Social Economy, 79(2), 333–356. https://doi.org/10.1080/00346764.2019.1669811

Pula, B. (2024). Alfred Schutz, Phenomenology, and the Renewal of Interpretive Social Science. In Alfred Schutz Phenomenology and the Renewal of Interpretive Social Science. https://doi.org/10.4324/9781003461098

Rodemeyer, L. (2020). Noesis, and noema, and gender-oh my! Journal of Speculative Philosophy, 34(3), 248–264. https://doi.org/10.5325/jspecphil.34.3.0248

Rozzoni, C. (2021). Intentionality, Phantasy, and Image Consciousness in Edmund Husserl. In Palgrave Handbook of Image Studies (pp. 249–263). https://doi.org/10.1007/978-3-030-71830-5_15

Santis, D. De. (2022). Theodor Conrad, Zum Gedächtnis Edmund Husserls (Ein unveröffentlichter Aufsatz aus der Bayerischen Staatsbibliothek). Husserl Studies, 38(1), 55–66. https://doi.org/10.1007/s10743-021-09289-8

Santis, D. De. (2023). Edmund Husserl’s Cartesian Meditations: Commentary, interpretations, discussions. In Edmund Husserl S Cartesian Meditations Commentary Interpretations Discussions. https://www.scopus.com/inward/record.uri?partnerID=HzOxMe3b&scp=85175148187&origin=inward

Sass, L. (2021a). Husserl, Heidegger, and the paradox of subjectivity. Continental Philosophy Review, 54(3), 295–317. https://doi.org/10.1007/s11007-021-09540-1

Sass, L. (2021b). Husserl, Heidegger, and the paradox of subjectivity. Continental Philosophy Review, 54(3), 295–317. https://doi.org/10.1007/s11007-021-09540-1

Sepúlveda, J. G. M. (2020). The phenomenology of edmund husserl as an epistemological basis of qualitative methods. Revista Notas Historicas Y Geograficas, 25, 1–25. https://www.scopus.com/inward/record.uri?partnerID=HzOxMe3b&scp=85107857583&origin=inward

Sholihan, Falsafah Kesatuan Ilmu: Paradigma Keilmuan UIN Walisongo, Semarang, RaSail Media Grup, 2021

Sholihan, Falsafah Kesatuan Ilmu: Paradigma Keilmuan UIN Walisongo, Semarang, RaSail Media Grup, 2021

Stephenson, J. (2024). Ambient Temporalities: Rethinking Object-Oriented Time through Kant, Husserl, and Heidegger. Open Philosophy, 7(1). https://doi.org/10.1515/opphil-2024-0035

Toronyai, G. (2024). On the Personal, Intersubjective, and Metaphysical Senses of Death: An Inquiry into Edmund Husserl’s Transcendental Phenomenological Approach to Death. Husserl Studies, 40(1), 67–88. https://doi.org/10.1007/s10743-023-09339-3

Varga, P. A. (2022). Edmund Husserl on the Historicity of the Gospels. A Different Look at Husserl’s Philosophy of Religion and his Philosophy of the History of Philosophy. Husserl Studies, 38(1), 37–54. https://doi.org/10.1007/s10743-021-09298-7

Varga, P. A. (2023). An eyewitness account of Edmund Husserl and Freiburg phenomenology in 1923–24. Towards reclaiming the plurivocity of historical sources of the Phenomenological Movement. Continental Philosophy Review, 56(4), 517–533. https://doi.org/10.1007/s11007-023-09619-x

 



[1] Edmund Husserl, Ideas Pertaining to A Pure Phenomenology and to A Phenomenologycal Philosopy (1983)

[2] Cassara B, Phenomenology and Transcendence: On Openness and Metaphysics in Husserl and Heidegger (2022) 13(11)

[3] The Construction of Religious Freedom in Indonesian Legislation: A Perspective of Maqāsid Hifz Al-DīnLathifah A, Hapsin A, Hidayatulloh MSamarah (2022) 6(1) 369-390

[4] Al-Qur’an Al Karim

[5] Dr. H. Subhan Abdullah Acim, MA & Muhammad Fikri, MA, Arba’in Hadits (Perspektif Ontology Dakwah), Mataram, 2021, hlm 30

[6] Jujun S. Suriansumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012, hlm 2

[7] Sholihan, Falsafah Kesatuan Ilmu: Paradigma Keilmuan UIN Walisongo, Semarang, RaSail Media Grup, 2021,hlm 2

[8] Phenomenology and Transcendence: On Openness and Metaphysics in Husserl and Heidegger ,Cassara B, Religions (2022) 13(11)

[9] https://plato.stanford.edu/entries/husserl/#LifWor

[10] https://plato.stanford.edu/entries/husserl/#LifWor

[11] https://plato.stanford.edu/entries/husserl/#LifWor

[12] Intentionality, Phantasy, and Image Consciousness in Edmund Husserl, Rozzoni C, Palgrave Handbook of Image Studies

[13] Buongiorno F, Drive and Object: The Intentionality of Desire in Edmund Husserl, Iride (2021) 34(3) 543-558

[14] Meacham D, Epoché and institution: the fundamental tension in Jan Patočka’s phenomenology Studies in East European Thought (2021) 73(3) 309-326

[15] Noesis, and noema, and gender-oh my!Rodemeyer L, Journal of Speculative Philosophy (2020) 34(3) 248-264

 

[16] Husserl, Heidegger, and the paradox of subjectivity, Sass L, Continental Philosophy Review (2021) 54(3) 295-317

[17] Husserl on Eidetic Norms, Carta E, Husserl Studies (2021) 37(2) 127-146

[18] Edmund Husserl, Jardine J, Routledge Handbook of Phenomenology of Emotion

[19] Sholihan, Falsafah Kesatuan Ilmu: Paradigma Keilmuan UIN Walisongo, Semarang, RaSail Media Grup, 2021, hlm. 66

 

[20] Doing a Hermeneutic Phenomenology Research Underpinned by Gadamer’s Philosophy: A Framework to Facilitate Data AnalysisAlsaigh R, Coyne IInternational Journal of Qualitative Methods (2021) 20

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setiap komentar hendaknya bernilai positif, memperhatikan etika dan tidak menyinggung SARA. Terimakasih.