Halaman

Senin, 23 Juni 2025

Episteme Bayani: Karakteristik, Kontribusi, Kritik dan Relevansinya dalam Konteks Kehidupan Masyarakat Modern

Episteme Bayani: Karakteristik, Kontribusi, Kritik dan Relevansinya dalam Konteks Kehidupan Masyarakat Modern

 

Oleh: Suprapto

Mahasiswa S3 UIN Walisongo Semarang

Suprapto059@gmail.com

 

Abstrak

Episteme Bayani merupakan kerangka epistemologis yang kuat dalam tradisi keilmuan Islam awal, terpokok dalam kajian tafsir, fikih, dan ushul fikih. Isu yang dikaji dalam makalah ini adalah pendekatan tekstual-normatif (Bayani) yang dinilai sangat dominan pada awal periodesasi keilmuan Islam. Pada perkembangannya, pendekatan ini dianggap membatasi perubahan pemikiran Islam kontemporer pada kehidupan masyarakat modern. Hal ini melahirkan pendapat bahwa pemahaman teks keagamaan harus dilakukan dengan mempertemukan cakrawala, pengarang, dan pembaca teks untuk mencapai pengetahuan yang bermakna dalam menafsirkan sebuah teks.[1](Supena, 2022). Metode yang digunakan adalah studi kualitatif kepustakaan dengan pendekatan analisis isi terhadap karya-karya ilmuwan, baik yang mendukung ataupun yang mengkritisi. Hasil kajian menunjukkan bahwa episteme Bayani memiliki kontribusi besar dalam menjaga otoritas teks dan sistem hukum Islam, namun pada perkembangannya pendekatan ini dinilai kurang memberi ruang bagi rasionalitas, perubahan zaman. Kesimpulan makalah ini menegaskan pentingnya integrasi antara episteme Bayani dengan pendekatan Burhani dan Irfani guna membangun paradigma keilmuan Islam yang lebih moderat dan kontekstual.

Kata kunci: Bayani, Epistemologi Bayani


Pendahuluan

Filsafat sepanjang sejarahnya terus mencari jawaban fundamental mengenai keberadaan, pengetahuan, dan kenyataan. Berbagai masalah memasuki alam pikiran manusia untuk menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan, sebagai bagian dari buah kesadarannya.[2] Sebagai ilmu, filsafat telah lahir sejak kurang lebih duapuluh lima abad yang lalu.[3]

Dalam filsafat Islam, Episteme Bayani adalah salah satu dari tiga pola epistemologi dalam tradisi keilmuan Islam awal yang dikategorikan oleh Mohammed Abed al-Jabiri. Tiga episteme itu adalah Bayani, Burhani, dan 'Irfani.[4] Masing-masing memperlihatkan cara berpikir dan pendekatan keilmuan yang berbeda. "Bayani" berasal dari kata bayan, yang berarti penjelasan atau keterangan. Dalam konteks keilmuan, "Bayani" mengacu pada metode penalaran berbasis teks (nash), yaitu Al-Qur’an, Hadis, dan warisan tafsir ulama salaf. Karakteristik pokok dari pendekatan ini adalah bahwa kebenaran diambil dari nash (teks wahyu dan hadis) serta penjelasan ulama. Pendekatan ini dikental diwarnai dengan qiyas (analogi) sebagai metode istinbat hukum. Tradisional dan tekstual, adalah sifat yang lainnya, dimana tidak terlalu mengandalkan pengamatan kondisi faktual atau akal murni, dan lebih menitikberatkan ta’wil, penafsiran, fikih, dan ushul fikih. Perbedaan antara Bayani, Burhani dan Irfani dapat secara ringkas ditampilkan pada table berikut:

A screenshot of a computer

AI-generated content may be incorrect.

Dalam bukunya Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi , al-Jabiri mengkaji kerangka dasar cara berpikir umat Islam dengan membagi epistemologi Arab-Islam ke dalam tiga bentuk pokok, yaitu Bayani (berbasis teks dan bahasa), ‘irfani (berbasis intuisi dan mistisisme), serta burhani (berbasis logika dan rasionalitas). Al-Jabiri menilai bahwa dominasi nalar Bayani dan irfani dalam sejarah intelektual Islam telah menghambat perkembangan pemikiran kritis dan ilmiah, sehingga diperlukan reformasi epistemologis dengan menghidupkan kembali nalar burhani. Melalui pendekatan kritis dan yang didasarkan pada konteks sejarah, ia menegaskan bahwa cara berpikir umat Islam adalah hasil bangunan sosial-budaya, bukan sesuatu yang sakral, sehingga bisa dan harus dikritisi untuk mendorong kemajuan peradaban Islam di era modern.

Dalam konteks yang didasarkan pada konteks sejarah, pendekatan Bayani berkembang kuat dalam masa awal Islam hingga era pertengahan (Abad 7–12 M). Keadaan ini sangat berpengaruh dalam mazhab-mazhab fikih, ilmu kalam klasik, dan tafsir. Pada era itu, pendekatan ini muncul sebagai usaha menjaga otentisitas dan kemurnian ajaran Islam berdasarkan teks wahyu. Karena muncul pada era-era awal, maka pendekatan ini memiliki implikasi yang dominan terhadap bangunan ilmu-ilmu keislaman, diantaranya dominasi Ilmu Fikih dan Ushul Fikih. Episteme Bayani menjadi dasar pokok dalam pengembangan hukum Islam, khususnya ilmu fikih, yang tumbuh menjadi ilmu pokok dalam tradisi Islam klasik karena pendekatan Bayani mendukung formulasi hukum melalui penalaran berbasis teks.

Kontribusi

Episteme Bayani menghadirkan kontribusi besar dalam perkembangan ilmu-ilmu Islam klasik, terpokok dalam bidang fikih, ushul fikih, tafsir, dan ilmu kalam, dengan menitikberatkan pendekatan tekstual yang berakar pada otoritas nash (Al-Qur’an dan Hadis) serta perangkat bahasa Arab seperti nahwu, balaghah, dan qiyas sebagai alat pokok dalam memahami wahyu. Pendekatan ini membentuk fondasi sistem hukum Islam yang sistematis dan metodologis, sebagaimana dirumuskan oleh Imam al-Syafi’i dalam al-Risalah, yang menjadi tonggak pokok disiplin ushul fikih (Jabiri, 1986; Hallaq, 1997).[5] Melalui episteme Bayani, para ulama mampu mengembangkan kerangka interpretasi hukum dan moral yang konsisten, menjaga otoritas teks dari distorsi penafsiran yang liar, serta memperkuat identitas dan otentisitas ajaran Islam dalam masyarakat Muslim. Namun, meski sangat berperan dalam membangun disiplin keilmuan Islam, pendekatan ini kemudian dinilai terbatas karena kurang membuka ruang bagi rasionalitas kondisi faktual dan kritik yang didasarkan pada konteks sejarah dalam menghadapi tantangan zaman modern (al-Jabiri, 1986).[6]

Pendekatan Bayani yang menggunakan metoda tekstual efektif dalam memelihara kemurnian ajaran Islam, karena sangat berhati-hati dalam menafsirkan teks. Hal ini berkontribusi melahirkan kekuatan dalam menjaga orisinalitas agama. Pendekatan Bayani cocok untuk mengembangkan ilmu seperti: tafsir, hadis, fikih, kalam tradisional.

Kritik atas Pendekatan Bayani

Dalam perkembangannya, pendekatan Bayani mendapatkan kritik karena dinilai menghadirkan kontribusi pada pembatasan terhadap akal. Salah satu aliran rasional seperti Mu’tazilah seringkali dikritik karena dianggap keluar dari metode Bayani. Kritik yang lainnya adalah karena adanya penekanan pada teks membuat pendekatan ini sering menghindari pemikiran filosofis atau ilmiah yang terlalu spekulatif. Karena berlandaskan teks, pendekatan ini cenderung konservatif dalam menerima penafsiran baru, sehingga hanya ulama yang menguasai ilmu-ilmu alat (nahwu, balaghah, manthiq) yang dianggap layak melakukan ijtihad.

Dalam empat jilid Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, al-Jābirī  berpendapat bahwa sejarah manusia menyaksikan varian-varian nalar “Yunani-Eropa” dan “Arab”, dan bukan satu-satunya. Ia menantang keyakinan para filsuf terhadap universalitas nalar yang terungkap dalam perjalanan sejarah Eropa. Membaca teori al-Jābirī dalam optik Kant akan terbukti bermanfaat mengingat sejumlah besar pengamatan yang terkumpul dalam studi filsafat Arab dan terkait langsung dengan pertanyaan tentang jenis rasionalitas yang mendasari budaya Arab-Muslim. Tradisi linguistik Arab mendasarkan dirinya bukan pada keberadaan substansi tetapi pada aliran tindakan.[7] (Smirnov, 2024)

Saat ini pendekatan Bayani cenderung dipandang tertutup terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern, dimana ada dorongan kuat untuk memberi ruang untuk pendekatan ilmiah atau kondisi faktual. Pandangan ini memperkuat bahwa episteme Bayani bisa membatasi kemajuan ilmu pengetahuan Islam jika digunakan secara eksklusif.

Tokoh Pendukung Epesteme Bayani

Beberapa ilmuwan dan ulama klasik maupun kontemporer mendukung episteme Bayani, baik secara langsung melalui pengembangan metode tekstual-normatif, maupun secara tidak langsung melalui penerapan metodologi fikih, tafsir, dan ushul fikih. Mereka melihat pendekatan Bayani sebagai cara sahih untuk menjaga orisinalitas ajaran Islam. Tokoh penting yang mendukung atau mewakili episteme Bayani antara lain adalah Imam al-Syafi’i (w. 820 M), dengan karya pokok  Al-Risalah, yang menghadirkan peran peletak dasar ilmu ushul fikih, dimana pendekatan yang dilakukan bersifat tekstual, sistematis, berbasis qiyas, ijma’, dan istidlal. Implikasi dari pendekatan ini adalah adanya formalisasi metode deduktif dari nash untuk menghasilkan hukum Islam, yang hal ini merupakan inti dari episteme Bayani.

Tokoh lainnya adalah Imam Malik (w. 795 M), dengan bukunya Al-Muwatta. Buku ini membahas periwayatan Sunnah melalui sudut pandang ulama besar Madinah, Imam Malik bin Anas (w. 179 H/795 M), dalam buku terkenalnya al-Muwatta’, atau ‘Jalan yang sudah dilalui’. Buku ini membahas tidak hanya putusan-putusan hukum yang tercantum dalam buku ini, tetapi juga para ulama pokok yang terlibat dalam periwayatan putusan-putusan ini, yaitu guru-guru dan murid-murid Malik. Berbagai periwayatan ini menghadirkan bukti yang sangat kuat atas keandalan periwayatan Sunnah Malik. Yang lebih penting dari pertimbangan tekstual ini adalah konsep ‘amal, atau Praktik Penduduk Madinah. Konsep ini diterima sebagai sumber pokok oleh Malik dan pengikutnya, tetapi secara efektif ditolak oleh mazhab-mazhab lain, yang lebih memilih hadis (riwayat tekstual) sebagai indikasi Sunnah. Mengingat sifat ‘amal yang masih diperdebatkan baik di zaman kuno maupun modern, dan ketidaktahuan umum tentang hal itu dalam studi-studi Islam kontemporer, sumber ini dibahas lebih lanjut di sini. Hal ini memungkinkan pemahaman yang lebih mendalam tentang hakikat hukum Islam dan perkembangannya, dan, sebagai perluasan, tentang Islam itu sendiri. Peran dari karya Imam Malik adalah pada praktik komunitas sebagai hujjah, berdasar pada tradisi Nabi. Implikasi dari peran ini adalah mengedepankan tradisi (riwayat) dan teks sebagai dasar pengetahuan.[8](Dutton, 2021a)

Al-Ghazali (w. 1111 M), dengan bukunya Al-Mustashfa, Ihya Ulum al-Din, mengkaji bahwa persoalan-persoalan yang berkaitan dengan eksistensi Allah SWT merupakan topik yang penting untuk dibahas, guna membedakan manusia yang muwaḥḥid (beriman) dan yang mulḥid (tidak beriman). Setiap pengingkaran dan kesalahpahaman terhadap konsep ini, niscaya akan berujung pada pengingkaran dan kesalahpahaman terhadap eksistensi Allah SWT, dan berujung pada kekufuran. Oleh karena itu, para ulama menghadirkan perhatian besar terhadap persoalan-persoalan ini, dengan mengemukakan berbagai dalil dan bukti-bukti spesifik karya-karya ilmiah mereka untuk membenarkan eksistensi Allah SWT. Al-Ghazali memiliki dasar dan dalil yang kuat seperti halnya mazhab Ahlus Sunnah wa al-Jamā‘ah yang mengakui hakikat penggunaan dalil naqli dan ‘aqli sebagai sumber dalil dalam membuktikan eksistensi Allah SWT.[9] (Hamat, 2021). Al-Ghazali  menggabungkan Bayani dengan aspek ‘Irfani, tapi dalam bidang ushul fikih ia meletakkan dasar tekstual-logis khas Bayani. Implikasinya adalah memperkuat posisi teks dalam ilmu hukum dan akhlak.

Tokoh Kontemporer yang mendukung atau melanjutkan tradisi Bayani antara lain adalah Muhammad Abu Zahrah (w. 1974), seorang pakar hukum Islam dari Mesir. Dia tetap mempertahankan metode klasik ushul fikih dalam pengambilan hukum. Hal ini relevan dalam mengembangkan hukum Islam modern tanpa keluar dari pendekatan Bayani. Tokoh lainnya adalah Wahbah al-Zuhaili (w. 2015), seorang penulis kitab fikih komparatif al-Fikih al-Islami wa Adillatuhu, Dimana dalam penerapannya sangat tekstual, mengkomparasi mazhab dengan tetap berpijak pada dalil nash, yang memperihatkan kekuatan episteme Bayani untuk menjawab persoalan kekinian dalam hukum Islam. Selanjutnya Syekh Yusuf al-Qaradawi (w. 2022). Meski terbuka terhadap ijtihad kontekstual, tetap berpijak kuat pada Al-Qur'an, hadis, dan kaidah ushul fikih Bayani moderat.

Beberapa ilmuwan Muslim kontemporer maupun klasik telah mengkritisi episteme Bayani dalam ilmu-ilmu Islam karena dianggap terlalu tekstualis, normatif, dan membatasi perkembangan rasionalitas serta kreativitas pemikiran Islam. Kritik ini umumnya muncul dari mereka yang mendukung pendekatan Burhani (rasional) atau Irfani (spiritual-mistis), serta dari kalangan pembaru pemikiran Islam.

Tokoh yang Mengkritisi

Tokoh-tokoh pokok yang mengkritisi episteme Bayani antara lain Mohammed Abed al-Jabiri (1935–2010, Maroko), dengan karya pokok: Naqd al-‘Aql al-‘Arabi (Kritik atas Akal Arab),

Al-Jabiri merupakan salah satu pemikir Islam yang konsen terhadap usaha pembaruan dalam ranah epistemologi. Nilai lebih yang dimiliki oleh tokoh ini adalah gagasan-gagasannya yang senantiasa mengambil inspirasi dari tradisi Islam (Arab), sebisa mungkin menghindari adopsi gagasan-gagasan yang bersumber dari tradisi luar, khususnya Eropa, maupun para pemikir pembaruan lainnya. Al-Jabiri mengkritisi epistemologi buhani, Bayani, dan irfani. Menurut Abed Al-Jabiri Bayani berlandaskan pada burhani dan dibangun lebih rasional, maka al-Jabiri menolak sama sekali epistemologi irfani karena Bayani dapat terkikis oleh irfani.[10](Khatamunisa, 2020). Kritik pokoknya adalah bahwa Episteme Bayani terlalu fokus pada teks (nash) dan otoritas ulama tanpa ruang untuk kritik rasional sehingga membekukan kreativitas berpikir umat Islam. Keadaan ini menghambat kemajuan ilmu karena menolak pendekatan logis-rasional (Burhani).

Solusi ini mendorong peralihan dari Bayani ke Burhani sebagai basis bangunan ilmu-ilmu Islam. Al-Quran diyakini selalu berdialog dengan umat manusia sepanjang zaman. Dengan demikian, setiap generasi Muslim bertanggung jawab untuk menghadirkan interpretasi baru. Oleh karena itu, al-Jabiri menawarkan pendekatan hermeneutika untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dan turâts (warisan budaya) Islam untuk mengeksplorasi makna dan signifikansi teks-teks suci dan kanonik.

Menurut al-Jabiri, pendekatan hermeneutika memenuhi tuntutan interpretasi untuk objektivitas dan kontinuitas. Kerangka konseptual universalitas syariah dan tujuan pokok syariah digunakan sebagai paradigma kontekstualisasi untuk interpretasi kitab suci, sedangkan kronologi wahyu digunakan sebagai dasar untuk interpretasi yang selaras dengan konteks. Usahanya merumuskan konsep hak asasi manusia dalam Al-Quran didasarkan pada penerapan pendekatan hermeneutikanya terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang hakikat manusia. Meskipun tidak secara khusus membahas pendidikan, pendekatan hermeneutika al-Jabiri dinilai sebagai landasan bagi pengembangan pendidikan agama. Oleh karena itu, pendidikan agama dituntut untuk menjalankan perannya dalam humanisasi dan hominisasi.[11](Arif, 2023)

Tokoh lainnya Nasr Hamid Abu Zayd (1943–2010, Mesir), dengan karya pentingnya Mafhūm al-Naṣṣ (Konsep Teks), Dimana kritik pokok adalah penafsiran Bayani terhadap Al-Qur'an bersifat literal dan yang didasarkan pada konteks sejarah, sehingga kehilangan dimensi makna kontekstual. Pemikirannya menolak dominasi tafsir tekstual yang menolak dialog dengan ilmu modern dan humaniora. Solusi yang ditawarkan pendekatan hermeneutis-kontekstual agar teks dapat dialogis dengan realitas sosial modern. Fazlur Rahman (1919–1988, Pakistan/Amerika Serikat), karya pokok: Islam and Modernity. Kritik pokok yang disampaikan adalah tradisi Bayani dalam hukum Islam hanya menghasilkan taqlid (peniruan) dan tidak responsif terhadap perubahan zaman., sehingga menganggap metodologi Bayani tidak lagi memadai untuk menjawab tantangan sosial-politik kontemporer. Solusi yang ditawarkan adalah  Menghidupkan kembali metode ijtihad substantif, bukan hanya qiyas tekstual.

Munculnya para tokoh-tokoh diatas, seiring dengan perkembangan konsep pemikiran yang mengedepankan dengan pemikiran kontemporer di era itu. Sebagai perbandingan, di Eropa, selama tahun 1920-an dan 1930-an terjadi krisis dan sangat tertarik pada apa yang dikenal di dunia sebagai Existenzphilosophie. Namun, "filsafat eksistensi" bukanlah satu-satunya gaya berfilsafat kontemporer, untuk gagasan-gagasannya tentang Fenomenologi Murni dan Filsafat Fenomenologis".(Heffernan, 2022) Di antara berbagai pendekatan filsafat kekinian, fenomenologi yang diperkenalkan oleh Edmund Husserl merupakan salah satu pemikiran yang paling berpengaruh dan kompleks. Husserl tidak hanya mengembangkan cara berpikir yang baru, tetapi juga menawarkan tumpuan pilihan bagi filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang berdasar pada pengalaman murni. Fenomenologi menawarkan suatu metode untuk kembali kepada “realitas itu sendiri” (zu den Sachen selbst), yakni bahwa realitas seperti terlihat pada kesadaran tanpa prasangka atau asumsi metafisis.

 

Relevansi dengan Kehidupan Masyarakat Modern

Meskipun sudah banyak dikritik, episteme Bayani tetap relevan sebagai pondasi keilmuan Islam, terpokok dalam bidang hukum Islam dan tafsir. Namun, perlu dikombinasikan dengan episteme Burhani (rasional) dan episteme ‘Irfani (intuisi-spiritual) untuk membentuk bangunan ilmu Islam yang lebih komprehensif, terbuka, dan relevan dengan zaman. Episteme Bayani tetap relevan dalam kehidupan masyarakat modern karena menghadirkan dasar normatif dan moral yang kokoh dalam memahami teks-teks keagamaan, yang penting dalam menjaga identitas keislaman di tengah arus globalisasi dan relativisme nilai. Pendekatan Bayani, dengan penekanan pada otoritas teks (Al-Qur'an dan Hadis) serta kaidah-kaidah bahasa Arab, masih menjadi rujukan pokok dalam praktik keagamaan seperti penetapan hukum fikih, fatwa, ibadah, dan etika sosial, terpokok di komunitas Muslim yang tetap mengedepankan keotentikan ajaran. Selain itu, dalam konteks modern yang dipenuhi interpretasi bebas dan potensi penyimpangan makna, episteme Bayani membantu menghadirkan batasan metodologis agar penafsiran tetap berada dalam kerangka disiplin keilmuan yang sah (Hallaq, 2009). Meskipun begitu, pendekatan ini juga perlu dilengkapi dengan episteme lain seperti burhani (rasional) dan irfani (spiritual) agar lebih responsif terhadap persoalan kontemporer seperti HAM, demokrasi, dan ilmu pengetahuan modern, sebagaimana disarankan oleh Muhammad Abid al-Jabiri dalam proyek kritik nalar Arab-nya (al-Jabiri, 1986).[12]

Episteme Bayani cenderung fokus pada preservasi orisinalitas Islam melalui pendekatan normatif-teks, dan dinilai tetap relevan terpokok dalam ilmu-ilmu syariah, meskipun perlu dikombinasikan dengan pendekatan Burhani (rasional) atau ‘Irfani (spiritual) agar lebih adaptif terhadap konteks zaman. Para kritikus episteme Bayani bukan menolak teks agama, tetapi mengkritik cara berpikir tekstual yang kaku dan tidak adaptif. Mereka mengusulkan pendekatan baru yang rasional, kontekstual, dan interdisipliner agar ilmu-ilmu Islam tetap relevan dalam dunia modern.

Kesimpulan

Episteme Bayani adalah pendekatan epistemologis Islam yang menitikberatkan pentingnya teks (nash) sebagai sumber pokok pengetahuan. Ia memiliki kontribusi besar dalam bangunan ilmu-ilmu keislaman seperti fikih, tafsir, dan ushul fikih. Namun, pendekatan ini perlu dikembangkan dan dikombinasikan dengan pola berpikir lain agar mampu menjawab tantangan zaman modern yang semakin komplek. Kritik pokoknya adalah bahwa Episteme Bayani terlalu fokus pada teks (nash) dan otoritas ulama tanpa ruang untuk kritik rasional sehingga membekukan kreativitas berpikir umat Islam. Keadaan ini menghambat kemajuan ilmu karena menolak pendekatan logis-rasional (Burhani).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Akbar, A. (2020a). Muslim reformist scholars’ arguments for democracy independent of religious justification. Critical Research on Religion, 8(3), 217–234. https://doi.org/10.1177/2050303220952849

Akbar, A. (2020b). Muslim reformist scholars’ arguments for democracy independent of religious justification. Critical Research on Religion, 8(3), 217–234. https://doi.org/10.1177/2050303220952849

Akbar, A. (2021a). Philosophical hermeneutics and contemporary Muslim scholars’ approaches to interpreting scripture. Philosophy and Social Criticism, 47(5), 587–614. https://doi.org/10.1177/0191453720931912

Akbar, A. (2021b). Philosophical hermeneutics and contemporary Muslim scholars’ approaches to interpreting scripture. Philosophy and Social Criticism, 47(5), 587–614. https://doi.org/10.1177/0191453720931912

Akbar, A. (2022). A Critique of the Concept of Ḥākimiyya: Nasr Hamid Abu Zayd’s Approach. Religions, 13(11). https://doi.org/10.3390/rel13111100

Anam, W. (2024). Quo Vadis Hadith Studies in Islamic Boarding Schools in Al-Jabiri’s Perspective. Nazhruna Jurnal Pendidikan Islam, 7(2), 290–314. https://doi.org/10.31538/nzh.v7i2.4328

Arif, M. (2023). Al-Jabiri’s Quranic Hermeneutics and Its Significance for Religious Education. Kemanusiaan, 30(1), 34–56. https://doi.org/10.21315/kajh2023.30.1.3

Arif, M., & Lessy, Z. (2023). Al-Jabiri’s Quranic Hermeneutics and Its Significance for Religious Education. Kemanusiaan, 30(1), 34–56. https://doi.org/10.21315/kajh2023.30.1.3

Brockopp, J. (2020). Ar. 3001 and the apotheosis of mĀlik b. anas. Jerusalem Studies in Arabic and Islam, 2020(49), 249–274. https://www.scopus.com/inward/record.uri?partnerID=HzOxMe3b&scp=85107703368&origin=inward

Cano, J. M. M. Del. (2023). A Critical Account to the Husserl-Geiger Discussion on Affective Consciousness. Contrastes, 28(2), 123–140. https://doi.org/10.24310/CONTRASTESCONTRASTES.V28I2.15181

DeRobertis, E. M. (2021). Epistemological Foundations of Humanistic Psychology’s Approach to the Empirical. Journal of Theoretical and Philosophical Psychology, 42(2), 61–77. https://doi.org/10.1037/teo0000181

Dutton, Y. (2021a). Early Islam in Medina: Mālik and His Muwaṭṭa’. In Early Islam in Medina: Mālik and his Muwaṭṭa’. Bloomsbury Publishing Plc.

Dutton, Y. (2021b). Early Islam in Medina: Mālik and His Muwaṭṭa’. In Early Islam in Medina Mlik and His Muwaa. https://www.scopus.com/inward/record.uri?partnerID=HzOxMe3b&scp=85153368618&origin=inward

Ellethy, Y. (2020). A controversial orthodoxy: Al-Ghazali’s revival of the religious sciences. NTT Journal for Theology and the Study of Religion, 74(4), 375–386. https://doi.org/10.5117/NTT2020.4.005.ELLE

Falyouna, N. (2020). Analytical study on nasr hamid abu zayd’s understanding of religious texts in islam. Journal of Al-Tamaddun, 15(2), 45–55. https://doi.org/10.22452/JAT.vol15no2.4

Hamat, M. F. (2021). Implementation of naqli and ‘aqli on the existence of allah according to al-ghazali based on ihya’ ‘ulum al-din. Afkar, 23(1), 91–138. https://doi.org/10.22452/afkar.vol23no1.3

Hamat, M. F., Shuhari, M. H., Rozali, M. H., & Makdom, A. H. A. (2021). Implementation of naqli and ‘aqli on the existence of allah according to al-ghazali based on ihya’ ‘ulum al-din. Afkar, 23(1), 91–138. https://doi.org/10.22452/afkar.vol23no1.3

Heffernan, G. (2022). Husserl’s Phenomenology of Existence: A Very Brief Introduction. In Contributions To Phenomenology (Vol. 120, pp. 1–30). Springer Nature. https://doi.org/10.1007/978-3-031-05095-4_1

Ja’far. (2023). BAYANI EPISTEMOLOGIES IN MODERN INDONESIA: The Contribution of AI Washliyah Ulama to Quranic Exegesis Studies. Miqot Jurnal Ilmu Ilmu Keislaman, 47(1), 1–17. https://doi.org/10.30821/miqot.v47i1.1079

Ja’far. (2024). ANTI-AHMADIYYA RULINGS IN EAST SUMATRA: AN EPISTEMOLOGICAL REVIEW OF RELIGIOUS OPINION IN PRE-INDEPENDENCE INDONESIA. Teosofi Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran Islam, 14(2), 53–93. https://doi.org/10.15642/teosofi.2024.14.2.53-93

Jujun S. Suriansumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012, hlm 2

Khatamunisa, R. (2020). KRITIK METODOLOGI (BAYANI, IRFANI’ DAN BURHANI) MUHAMMAD ABED AL-JABIRI. El Mashlahah, 10(2), 43–51. https://doi.org/10.23971/maslahah.v10i2.1984

Lamola, M. J. (2021). Paulin Hountondji, Knowledge as Science, and the Sovereignty of African Intellection. Social Epistemology, 35(3), 270–284. https://doi.org/10.1080/02691728.2020.1849441

Leirvik, O. (2020). Islamic humanism or humanistic islam? Interreligious Studies and Intercultural Theology, 4(1), 88–101. https://doi.org/10.1558/isit.40611

Loidolt, S. (2024). EDMUND HUSSERL: Idealistic Politics and Communal Spirit. In Routledge Handbook of Political Phenomenology (pp. 18–29). https://doi.org/10.4324/9781003197430-4

McGrath, M. B. (2023). Cultural appropriation: an Husserlian account. Continental Philosophy Review, 56(3), 483–504. https://doi.org/10.1007/s11007-023-09605-3

Mufid, A. (2023). Rereading Nasr Hamid Abu Zayd’s method of interpreting religious texts. Hts Teologiese Studies Theological Studies, 79(1). https://doi.org/10.4102/hts.v79i1.8102

Mufid, A., Massoweang, A. K., Mujizatullah, M., Muslim, A., & Yani, Z. (2023). Rereading Nasr Hamid Abu Zayd’s method of interpreting religious texts. HTS Teologiese Studies / Theological Studies, 79(1). https://doi.org/10.4102/hts.v79i1.8102

Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, Beirut, Lebanon, 1986

Mukhlishin. (2023). Unveiling the Power of Burhānī Epistemology in Reshaping Islamic Economic Law for a Fair Financial Landscape. Al Ahkam Jurnal Ilmu Syari Ah Dan Hukum, 8(2), 146–162. https://doi.org/10.22515/alahkam.v8i2.8482

Mun’im, Z. (2022). The Epistemology of MUI’s Fatwas on Covid-19: Bayani and Burhani Eclecticism. Al Istinbath Jurnal Hukum Islam, 7(1), 1–20. https://doi.org/10.29240/jhi.v7i1.3216

Oweidat, N. (2024). Reform and its perils in contemporary Islam: The Case of Nasr Hamid Abu Zayd. In Reform and Its Perils in Contemporary Islam the Case of Nasr Hamid Abu Zayd. https://doi.org/10.1093/9780197744123.001.0001

Saifi, M. (2024). The al-Jābirī–Ṭarābīshī Controversy: Arab Modernists in the Grip of Turāth. Miscelanea De Estudios Arabes Y Hebraicos Seccion Arabe Islam, 73, 245–282. https://doi.org/10.30827/meaharabe.v73.26772

Santis, D. De. (2022). Theodor Conrad, Zum Gedächtnis Edmund Husserls (Ein unveröffentlichter Aufsatz aus der Bayerischen Staatsbibliothek). Husserl Studies, 38(1), 55–66. https://doi.org/10.1007/s10743-021-09289-8

Sepúlveda, J. G. M. (2020). The phenomenology of edmund husserl as an epistemological basis of qualitative methods. Revista Notas Historicas Y Geograficas, 25, 1–25. https://www.scopus.com/inward/record.uri?partnerID=HzOxMe3b&scp=85107857583&origin=inward

Sholihan, Falsafah Kesatuan Ilmu: Paradigma Keilmuan UIN Walisongo, Semarang, RaSail Media Grup, 2021,hlm 2

Smirnov, A. V. (2024). Reason, Language, and Culture: Reading Al-Jābirī’s “Arab Reason” Concept Today*. Voprosy Filosofii, 2024(7), 51–58. https://doi.org/10.21146/0042-8744-2024-7-51-58

Supena, I. (2021a). EPISTEMOLOGY OF ISLAM NUSANTARA AND ITS IMPLICATION TO LIBERAL THOUGHT OF INDONESIAN ISLAM. European Journal of Science and Theology, 17(2), 23–34. https://www.scopus.com/inward/record.uri?partnerID=HzOxMe3b&scp=85139046430&origin=inward

Supena, I. (2021b). Konstruksi epistemologi fikih pandemik: Analisis fatwa-fatwa mui. Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam, 15(1), 121–136. https://doi.org/10.24090/mnh.v15i1.4203

Supena, I. (2022). Gadamer’s Philosophical Hermeneutics on Religious Language and COVID-19. In Filosofija, Sociologija (Vol. 33, Issue 3, pp. 310–317). Lithuanian Academy of Sciences Publishers. https://doi.org/10.6001/fil-soc.v33i3.4780

Supena, I. (2024). Epistemology of Tafsīr, Ta’wīl, and Hermeneutics: Towards an Integrative Approach. Journal of Islamic Thought and Civilization, 14(1), 121–136. https://doi.org/10.32350/jitc.141.08

Widigdo, M. S. A. (2024). ARAB-MUSLIM INTELLECTUAL RESPONSES TO MODERNITY: NAVIGATING ANXIETY AND AUTHENTICITY IN THE THOUGHTS OF MUHAMMAD ABID AL-JABIRI AND ABDURRAHMAN TAHA. Afkar, 26(2), 1–30. https://doi.org/10.22452/afkar.vol26no2.1



[1] Gadamer’s Philosophical Hermeneutics on Religious Language and COVID-19, Supena I, Filosofija, Sociologija.

[2] Jujun S. Suriansumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012, hlm 2

[3] Sholihan, Falsafah Kesatuan Ilmu: Paradigma Keilmuan UIN Walisongo, Semarang, RaSail Media Grup, 2021,hlm 2

[4] Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, Beirut, Lebanon, 1986

[5] Hallaq, W. B. (1997). A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh. Cambridge: Cambridge University Press.

[6] Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, Beirut, Lebanon, 1986

[7] Reason, Language, and Culture: Reading Al-Jābirī’s “Arab Reason” Concept Today*Smirnov A, Voprosy Filosofii (2024) 2024(7) 51-58.

 

[8] Early Islam in Medina: Mālik and His Muwaṭṭa’Dutton YBloomsbury Publishing Plc., (2021), 1-144

 

[9] Implementation of naqli and ‘aqli on the existence of allah according to al-ghazali based on ihya’ ‘ulum al-dinHamat MAfkar (2021) 23(1) 91-138

 

[10] KRITIK METODOLOGI (BAYANI, IRFANI’ DAN BURHANI) MUHAMMAD ABED AL-JABIRI, Khatamunisa REl Mashlahah (2020) 10(2) 43-51

 

[11] Al-Jabiri's Quranic Hermeneutics and Its Significance for Religious Education, Arif M, Lessy ZKemanusiaan (2023) 30(1) 34-56

[12] Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, Beirut, Lebanon, 1986

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setiap komentar hendaknya bernilai positif, memperhatikan etika dan tidak menyinggung SARA. Terimakasih.