Episteme Bayani: Karakteristik, Kontribusi, Kritik dan Relevansinya dalam Konteks Kehidupan Masyarakat Modern
Oleh:
Suprapto
Mahasiswa
S3 UIN Walisongo Semarang
Abstrak
Episteme Bayani merupakan kerangka epistemologis yang kuat
dalam tradisi keilmuan Islam awal, terpokok dalam kajian tafsir, fikih, dan
ushul fikih. Isu yang dikaji dalam makalah ini adalah pendekatan
tekstual-normatif (Bayani) yang dinilai sangat dominan pada awal periodesasi
keilmuan Islam. Pada perkembangannya, pendekatan ini dianggap membatasi perubahan
pemikiran Islam kontemporer pada kehidupan masyarakat modern. Hal ini melahirkan
pendapat bahwa pemahaman teks keagamaan harus dilakukan dengan mempertemukan
cakrawala, pengarang, dan pembaca teks untuk mencapai pengetahuan yang bermakna
dalam menafsirkan sebuah teks.[1]
Kata kunci: Bayani, Epistemologi Bayani
Pendahuluan
Filsafat
sepanjang sejarahnya terus mencari jawaban fundamental mengenai keberadaan,
pengetahuan, dan kenyataan. Berbagai masalah memasuki alam pikiran manusia
untuk menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan beragam buah pemikiran telah
dihasilkan, sebagai bagian dari buah kesadarannya.[2]
Sebagai ilmu, filsafat telah lahir sejak kurang lebih duapuluh lima abad yang
lalu.[3]
Dalam filsafat
Islam, Episteme Bayani adalah salah satu dari tiga pola epistemologi dalam
tradisi keilmuan Islam awal yang dikategorikan oleh Mohammed Abed al-Jabiri.
Tiga episteme itu adalah Bayani, Burhani, dan 'Irfani.[4]
Masing-masing memperlihatkan cara berpikir dan pendekatan keilmuan yang
berbeda. "Bayani" berasal dari kata bayan, yang berarti
penjelasan atau keterangan. Dalam konteks keilmuan, "Bayani" mengacu
pada metode penalaran berbasis teks (nash), yaitu Al-Qur’an, Hadis, dan warisan
tafsir ulama salaf. Karakteristik pokok dari pendekatan ini adalah bahwa
kebenaran diambil dari nash (teks wahyu dan hadis) serta penjelasan ulama.
Pendekatan ini dikental diwarnai dengan qiyas (analogi) sebagai metode istinbat
hukum. Tradisional dan tekstual, adalah sifat yang lainnya, dimana tidak
terlalu mengandalkan pengamatan kondisi faktual atau akal murni, dan lebih menitikberatkan
ta’wil, penafsiran, fikih, dan ushul fikih. Perbedaan antara Bayani, Burhani
dan Irfani dapat secara ringkas ditampilkan pada table berikut:
Dalam bukunya Bunyah
al-‘Aql al-‘Arabi , al-Jabiri mengkaji kerangka dasar cara berpikir umat
Islam dengan membagi epistemologi Arab-Islam ke dalam tiga bentuk pokok, yaitu Bayani
(berbasis teks dan bahasa), ‘irfani (berbasis intuisi dan mistisisme), serta
burhani (berbasis logika dan rasionalitas). Al-Jabiri menilai bahwa dominasi
nalar Bayani dan irfani dalam sejarah intelektual Islam telah menghambat
perkembangan pemikiran kritis dan ilmiah, sehingga diperlukan reformasi
epistemologis dengan menghidupkan kembali nalar burhani. Melalui pendekatan
kritis dan yang didasarkan pada konteks sejarah, ia menegaskan bahwa cara
berpikir umat Islam adalah hasil bangunan sosial-budaya, bukan sesuatu yang
sakral, sehingga bisa dan harus dikritisi untuk mendorong kemajuan peradaban
Islam di era modern.
Dalam konteks yang
didasarkan pada konteks sejarah, pendekatan Bayani berkembang kuat dalam masa
awal Islam hingga era pertengahan (Abad 7–12 M). Keadaan ini sangat berpengaruh
dalam mazhab-mazhab fikih, ilmu kalam klasik, dan tafsir. Pada era itu,
pendekatan ini muncul sebagai usaha menjaga otentisitas dan kemurnian ajaran
Islam berdasarkan teks wahyu. Karena muncul pada era-era awal, maka pendekatan
ini memiliki implikasi yang dominan terhadap bangunan ilmu-ilmu keislaman,
diantaranya dominasi Ilmu Fikih dan Ushul Fikih. Episteme Bayani menjadi dasar pokok
dalam pengembangan hukum Islam, khususnya ilmu fikih, yang tumbuh menjadi ilmu pokok
dalam tradisi Islam klasik karena pendekatan Bayani mendukung formulasi hukum
melalui penalaran berbasis teks.
Kontribusi
Episteme Bayani
menghadirkan kontribusi besar dalam perkembangan ilmu-ilmu Islam klasik, terpokok
dalam bidang fikih, ushul fikih, tafsir, dan ilmu kalam, dengan menitikberatkan
pendekatan tekstual yang berakar pada otoritas nash (Al-Qur’an dan Hadis) serta
perangkat bahasa Arab seperti nahwu, balaghah, dan qiyas sebagai alat pokok
dalam memahami wahyu. Pendekatan ini membentuk fondasi sistem hukum Islam yang
sistematis dan metodologis, sebagaimana dirumuskan oleh Imam al-Syafi’i dalam al-Risalah,
yang menjadi tonggak pokok disiplin ushul fikih (Jabiri, 1986; Hallaq, 1997).[5]
Melalui episteme Bayani, para ulama mampu mengembangkan kerangka interpretasi
hukum dan moral yang konsisten, menjaga otoritas teks dari distorsi penafsiran
yang liar, serta memperkuat identitas dan otentisitas ajaran Islam dalam
masyarakat Muslim. Namun, meski sangat berperan dalam membangun disiplin
keilmuan Islam, pendekatan ini kemudian dinilai terbatas karena kurang membuka
ruang bagi rasionalitas kondisi faktual dan kritik yang didasarkan pada konteks
sejarah dalam menghadapi tantangan zaman modern (al-Jabiri, 1986).[6]
Pendekatan Bayani
yang menggunakan metoda tekstual efektif dalam memelihara kemurnian ajaran
Islam, karena sangat berhati-hati dalam menafsirkan teks. Hal ini berkontribusi
melahirkan kekuatan dalam menjaga orisinalitas agama. Pendekatan Bayani cocok
untuk mengembangkan ilmu seperti: tafsir, hadis, fikih, kalam tradisional.
Kritik atas Pendekatan
Bayani
Dalam
perkembangannya, pendekatan Bayani mendapatkan kritik karena dinilai menghadirkan
kontribusi pada pembatasan terhadap akal. Salah satu aliran rasional seperti
Mu’tazilah seringkali dikritik karena dianggap keluar dari metode Bayani.
Kritik yang lainnya adalah karena adanya penekanan pada teks membuat pendekatan
ini sering menghindari pemikiran filosofis atau ilmiah yang terlalu spekulatif.
Karena berlandaskan teks, pendekatan ini cenderung konservatif dalam menerima
penafsiran baru, sehingga hanya ulama yang menguasai ilmu-ilmu alat (nahwu,
balaghah, manthiq) yang dianggap layak melakukan ijtihad.
Dalam empat
jilid Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, al-Jābirī berpendapat bahwa sejarah manusia menyaksikan
varian-varian nalar “Yunani-Eropa” dan “Arab”, dan bukan satu-satunya. Ia
menantang keyakinan para filsuf terhadap universalitas nalar yang terungkap
dalam perjalanan sejarah Eropa. Membaca teori al-Jābirī dalam optik Kant akan
terbukti bermanfaat mengingat sejumlah besar pengamatan yang terkumpul dalam
studi filsafat Arab dan terkait langsung dengan pertanyaan tentang jenis
rasionalitas yang mendasari budaya Arab-Muslim. Tradisi linguistik Arab mendasarkan
dirinya bukan pada keberadaan substansi tetapi pada aliran tindakan.[7]
Saat ini
pendekatan Bayani cenderung dipandang tertutup terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan modern, dimana ada dorongan kuat untuk memberi ruang untuk
pendekatan ilmiah atau kondisi faktual. Pandangan ini memperkuat bahwa episteme
Bayani bisa membatasi kemajuan ilmu pengetahuan Islam jika digunakan secara
eksklusif.
Tokoh Pendukung
Epesteme Bayani
Beberapa
ilmuwan dan ulama klasik maupun kontemporer mendukung episteme Bayani, baik
secara langsung melalui pengembangan metode tekstual-normatif, maupun secara
tidak langsung melalui penerapan metodologi fikih, tafsir, dan ushul fikih.
Mereka melihat pendekatan Bayani sebagai cara sahih untuk menjaga orisinalitas
ajaran Islam. Tokoh penting yang mendukung atau mewakili episteme Bayani antara
lain adalah Imam al-Syafi’i (w. 820 M), dengan karya pokok Al-Risalah, yang menghadirkan peran peletak
dasar ilmu ushul fikih, dimana pendekatan yang dilakukan bersifat tekstual,
sistematis, berbasis qiyas, ijma’, dan istidlal. Implikasi dari pendekatan ini
adalah adanya formalisasi metode deduktif dari nash untuk menghasilkan hukum
Islam, yang hal ini merupakan inti dari episteme Bayani.
Tokoh lainnya
adalah Imam Malik (w. 795 M), dengan bukunya Al-Muwatta. Buku ini
membahas periwayatan Sunnah melalui sudut pandang ulama besar Madinah, Imam
Malik bin Anas (w. 179 H/795 M), dalam buku terkenalnya al-Muwatta’, atau
‘Jalan yang sudah dilalui’. Buku ini membahas tidak hanya putusan-putusan hukum
yang tercantum dalam buku ini, tetapi juga para ulama pokok yang terlibat dalam
periwayatan putusan-putusan ini, yaitu guru-guru dan murid-murid Malik.
Berbagai periwayatan ini menghadirkan bukti yang sangat kuat atas keandalan
periwayatan Sunnah Malik. Yang lebih penting dari pertimbangan tekstual ini
adalah konsep ‘amal, atau Praktik Penduduk Madinah. Konsep ini diterima sebagai
sumber pokok oleh Malik dan pengikutnya, tetapi secara efektif ditolak oleh
mazhab-mazhab lain, yang lebih memilih hadis (riwayat tekstual) sebagai
indikasi Sunnah. Mengingat sifat ‘amal yang masih diperdebatkan baik di zaman
kuno maupun modern, dan ketidaktahuan umum tentang hal itu dalam studi-studi
Islam kontemporer, sumber ini dibahas lebih lanjut di sini. Hal ini
memungkinkan pemahaman yang lebih mendalam tentang hakikat hukum Islam dan
perkembangannya, dan, sebagai perluasan, tentang Islam itu sendiri. Peran dari
karya Imam Malik adalah pada praktik komunitas sebagai hujjah, berdasar pada
tradisi Nabi. Implikasi dari peran ini adalah mengedepankan tradisi (riwayat)
dan teks sebagai dasar pengetahuan.[8]
Al-Ghazali (w.
1111 M), dengan bukunya Al-Mustashfa, Ihya Ulum al-Din, mengkaji
bahwa persoalan-persoalan yang berkaitan dengan eksistensi Allah SWT merupakan
topik yang penting untuk dibahas, guna membedakan manusia yang muwaḥḥid
(beriman) dan yang mulḥid (tidak beriman). Setiap pengingkaran dan
kesalahpahaman terhadap konsep ini, niscaya akan berujung pada pengingkaran dan
kesalahpahaman terhadap eksistensi Allah SWT, dan berujung pada kekufuran. Oleh
karena itu, para ulama menghadirkan perhatian besar terhadap
persoalan-persoalan ini, dengan mengemukakan berbagai dalil dan bukti-bukti
spesifik karya-karya ilmiah mereka untuk membenarkan eksistensi Allah SWT.
Al-Ghazali memiliki dasar dan dalil yang kuat seperti halnya mazhab Ahlus
Sunnah wa al-Jamā‘ah yang mengakui hakikat penggunaan dalil naqli dan ‘aqli
sebagai sumber dalil dalam membuktikan eksistensi Allah SWT.[9]
Tokoh
Kontemporer yang mendukung atau melanjutkan tradisi Bayani antara lain adalah Muhammad
Abu Zahrah (w. 1974), seorang pakar hukum Islam dari Mesir. Dia tetap
mempertahankan metode klasik ushul fikih dalam pengambilan hukum. Hal ini relevan
dalam mengembangkan hukum Islam modern tanpa keluar dari pendekatan Bayani.
Tokoh lainnya adalah Wahbah al-Zuhaili (w. 2015), seorang penulis kitab fikih
komparatif al-Fikih al-Islami wa Adillatuhu, Dimana dalam penerapannya sangat
tekstual, mengkomparasi mazhab dengan tetap berpijak pada dalil nash, yang memperihatkan
kekuatan episteme Bayani untuk menjawab persoalan kekinian dalam hukum Islam.
Selanjutnya Syekh Yusuf al-Qaradawi (w. 2022). Meski terbuka terhadap ijtihad
kontekstual, tetap berpijak kuat pada Al-Qur'an, hadis, dan kaidah ushul fikih Bayani
moderat.
Beberapa
ilmuwan Muslim kontemporer maupun klasik telah mengkritisi episteme Bayani
dalam ilmu-ilmu Islam karena dianggap terlalu tekstualis, normatif, dan
membatasi perkembangan rasionalitas serta kreativitas pemikiran Islam. Kritik
ini umumnya muncul dari mereka yang mendukung pendekatan Burhani (rasional)
atau Irfani (spiritual-mistis), serta dari kalangan pembaru pemikiran Islam.
Tokoh yang Mengkritisi
Tokoh-tokoh pokok
yang mengkritisi episteme Bayani antara lain Mohammed Abed al-Jabiri
(1935–2010, Maroko), dengan karya pokok: Naqd al-‘Aql al-‘Arabi (Kritik
atas Akal Arab),
Al-Jabiri
merupakan salah satu pemikir Islam yang konsen terhadap usaha pembaruan dalam
ranah epistemologi. Nilai lebih yang dimiliki oleh tokoh ini adalah
gagasan-gagasannya yang senantiasa mengambil inspirasi dari tradisi Islam
(Arab), sebisa mungkin menghindari adopsi gagasan-gagasan yang bersumber dari
tradisi luar, khususnya Eropa, maupun para pemikir pembaruan lainnya. Al-Jabiri
mengkritisi epistemologi buhani, Bayani, dan irfani. Menurut Abed Al-Jabiri Bayani
berlandaskan pada burhani dan dibangun lebih rasional, maka al-Jabiri menolak
sama sekali epistemologi irfani karena Bayani dapat terkikis oleh irfani.[10]
Solusi ini mendorong
peralihan dari Bayani ke Burhani sebagai basis bangunan ilmu-ilmu Islam. Al-Quran
diyakini selalu berdialog dengan umat manusia sepanjang zaman. Dengan demikian,
setiap generasi Muslim bertanggung jawab untuk menghadirkan interpretasi baru.
Oleh karena itu, al-Jabiri menawarkan pendekatan hermeneutika untuk menafsirkan
ayat-ayat Al-Quran dan turâts (warisan budaya) Islam untuk mengeksplorasi makna
dan signifikansi teks-teks suci dan kanonik.
Menurut
al-Jabiri, pendekatan hermeneutika memenuhi tuntutan interpretasi untuk
objektivitas dan kontinuitas. Kerangka konseptual universalitas syariah dan
tujuan pokok syariah digunakan sebagai paradigma kontekstualisasi untuk
interpretasi kitab suci, sedangkan kronologi wahyu digunakan sebagai dasar
untuk interpretasi yang selaras dengan konteks. Usahanya merumuskan konsep hak
asasi manusia dalam Al-Quran didasarkan pada penerapan pendekatan
hermeneutikanya terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang hakikat manusia.
Meskipun tidak secara khusus membahas pendidikan, pendekatan hermeneutika
al-Jabiri dinilai sebagai landasan bagi pengembangan pendidikan agama. Oleh
karena itu, pendidikan agama dituntut untuk menjalankan perannya dalam
humanisasi dan hominisasi.[11]
Tokoh lainnya Nasr
Hamid Abu Zayd (1943–2010, Mesir), dengan karya pentingnya Mafhūm al-Naṣṣ
(Konsep Teks), Dimana kritik pokok adalah penafsiran Bayani terhadap Al-Qur'an
bersifat literal dan yang didasarkan pada konteks sejarah, sehingga kehilangan
dimensi makna kontekstual. Pemikirannya menolak dominasi tafsir tekstual yang
menolak dialog dengan ilmu modern dan humaniora. Solusi yang ditawarkan pendekatan
hermeneutis-kontekstual agar teks dapat dialogis dengan realitas sosial modern.
Fazlur Rahman (1919–1988, Pakistan/Amerika Serikat), karya pokok: Islam and
Modernity. Kritik pokok yang disampaikan adalah tradisi Bayani dalam hukum
Islam hanya menghasilkan taqlid (peniruan) dan tidak responsif terhadap
perubahan zaman., sehingga menganggap metodologi Bayani tidak lagi memadai
untuk menjawab tantangan sosial-politik kontemporer. Solusi yang ditawarkan
adalah Menghidupkan kembali metode
ijtihad substantif, bukan hanya qiyas tekstual.
Munculnya para
tokoh-tokoh diatas, seiring dengan perkembangan konsep pemikiran yang
mengedepankan dengan pemikiran kontemporer di era itu. Sebagai perbandingan, di
Eropa, selama tahun 1920-an dan 1930-an terjadi krisis dan sangat tertarik pada
apa yang dikenal di dunia sebagai Existenzphilosophie. Namun, "filsafat
eksistensi" bukanlah satu-satunya gaya berfilsafat kontemporer, untuk
gagasan-gagasannya tentang Fenomenologi Murni dan Filsafat Fenomenologis".
Relevansi dengan
Kehidupan Masyarakat Modern
Meskipun sudah
banyak dikritik, episteme Bayani tetap relevan sebagai pondasi keilmuan Islam,
terpokok dalam bidang hukum Islam dan tafsir. Namun, perlu dikombinasikan
dengan episteme Burhani (rasional) dan episteme ‘Irfani (intuisi-spiritual)
untuk membentuk bangunan ilmu Islam yang lebih komprehensif, terbuka, dan
relevan dengan zaman. Episteme Bayani tetap relevan dalam kehidupan masyarakat
modern karena menghadirkan dasar normatif dan moral yang kokoh dalam memahami
teks-teks keagamaan, yang penting dalam menjaga identitas keislaman di tengah
arus globalisasi dan relativisme nilai. Pendekatan Bayani, dengan penekanan
pada otoritas teks (Al-Qur'an dan Hadis) serta kaidah-kaidah bahasa Arab, masih
menjadi rujukan pokok dalam praktik keagamaan seperti penetapan hukum fikih,
fatwa, ibadah, dan etika sosial, terpokok di komunitas Muslim yang tetap
mengedepankan keotentikan ajaran. Selain itu, dalam konteks modern yang
dipenuhi interpretasi bebas dan potensi penyimpangan makna, episteme Bayani
membantu menghadirkan batasan metodologis agar penafsiran tetap berada dalam
kerangka disiplin keilmuan yang sah (Hallaq, 2009). Meskipun begitu, pendekatan
ini juga perlu dilengkapi dengan episteme lain seperti burhani (rasional) dan
irfani (spiritual) agar lebih responsif terhadap persoalan kontemporer seperti
HAM, demokrasi, dan ilmu pengetahuan modern, sebagaimana disarankan oleh
Muhammad Abid al-Jabiri dalam proyek kritik nalar Arab-nya (al-Jabiri, 1986).[12]
Episteme Bayani
cenderung fokus pada preservasi orisinalitas Islam melalui pendekatan
normatif-teks, dan dinilai tetap relevan terpokok dalam ilmu-ilmu syariah,
meskipun perlu dikombinasikan dengan pendekatan Burhani (rasional) atau ‘Irfani
(spiritual) agar lebih adaptif terhadap konteks zaman. Para kritikus episteme Bayani
bukan menolak teks agama, tetapi mengkritik cara berpikir tekstual yang kaku
dan tidak adaptif. Mereka mengusulkan pendekatan baru yang rasional,
kontekstual, dan interdisipliner agar ilmu-ilmu Islam tetap relevan dalam dunia
modern.
Kesimpulan
Episteme Bayani adalah
pendekatan epistemologis Islam yang menitikberatkan pentingnya teks (nash)
sebagai sumber pokok pengetahuan. Ia memiliki kontribusi besar dalam bangunan
ilmu-ilmu keislaman seperti fikih, tafsir, dan ushul fikih. Namun, pendekatan
ini perlu dikembangkan dan dikombinasikan dengan pola berpikir lain agar mampu
menjawab tantangan zaman modern yang semakin komplek. Kritik pokoknya adalah
bahwa Episteme Bayani terlalu fokus pada teks (nash) dan otoritas ulama tanpa
ruang untuk kritik rasional sehingga membekukan kreativitas berpikir umat
Islam. Keadaan ini menghambat kemajuan ilmu karena menolak pendekatan
logis-rasional (Burhani).
Daftar Pustaka
Akbar, A. (2020a). Muslim
reformist scholars’ arguments for democracy independent of religious
justification. Critical Research on Religion, 8(3), 217–234.
https://doi.org/10.1177/2050303220952849
Akbar, A. (2020b). Muslim
reformist scholars’ arguments for democracy independent of religious
justification. Critical Research on Religion, 8(3), 217–234.
https://doi.org/10.1177/2050303220952849
Akbar, A. (2021a).
Philosophical hermeneutics and contemporary Muslim scholars’ approaches to
interpreting scripture. Philosophy and Social Criticism, 47(5),
587–614. https://doi.org/10.1177/0191453720931912
Akbar, A. (2021b).
Philosophical hermeneutics and contemporary Muslim scholars’ approaches to
interpreting scripture. Philosophy and Social Criticism, 47(5),
587–614. https://doi.org/10.1177/0191453720931912
Akbar, A. (2022). A
Critique of the Concept of Ḥākimiyya: Nasr Hamid Abu Zayd’s Approach. Religions,
13(11). https://doi.org/10.3390/rel13111100
Anam, W. (2024). Quo Vadis
Hadith Studies in Islamic Boarding Schools in Al-Jabiri’s Perspective. Nazhruna
Jurnal Pendidikan Islam, 7(2), 290–314.
https://doi.org/10.31538/nzh.v7i2.4328
Arif, M. (2023).
Al-Jabiri’s Quranic Hermeneutics and Its Significance for Religious Education. Kemanusiaan,
30(1), 34–56. https://doi.org/10.21315/kajh2023.30.1.3
Arif, M., & Lessy, Z.
(2023). Al-Jabiri’s Quranic Hermeneutics and Its Significance for Religious
Education. Kemanusiaan, 30(1), 34–56.
https://doi.org/10.21315/kajh2023.30.1.3
Brockopp, J. (2020). Ar.
3001 and the apotheosis of mĀlik b. anas. Jerusalem Studies in Arabic and
Islam, 2020(49), 249–274.
https://www.scopus.com/inward/record.uri?partnerID=HzOxMe3b&scp=85107703368&origin=inward
Cano, J. M. M. Del. (2023).
A Critical Account to the Husserl-Geiger Discussion on Affective Consciousness.
Contrastes, 28(2), 123–140.
https://doi.org/10.24310/CONTRASTESCONTRASTES.V28I2.15181
DeRobertis, E. M. (2021).
Epistemological Foundations of Humanistic Psychology’s Approach to the
Empirical. Journal of Theoretical and Philosophical Psychology, 42(2),
61–77. https://doi.org/10.1037/teo0000181
Dutton, Y. (2021a). Early
Islam in Medina: Mālik and His Muwaṭṭa’. In Early Islam in Medina: Mālik and
his Muwaṭṭa’. Bloomsbury Publishing Plc.
Dutton, Y. (2021b). Early
Islam in Medina: Mālik and His Muwaṭṭa’. In Early Islam in Medina Mlik and
His Muwaa.
https://www.scopus.com/inward/record.uri?partnerID=HzOxMe3b&scp=85153368618&origin=inward
Ellethy, Y. (2020). A
controversial orthodoxy: Al-Ghazali’s revival of the religious sciences. NTT
Journal for Theology and the Study of Religion, 74(4), 375–386.
https://doi.org/10.5117/NTT2020.4.005.ELLE
Falyouna, N. (2020).
Analytical study on nasr hamid abu zayd’s understanding of religious texts in
islam. Journal of Al-Tamaddun, 15(2), 45–55.
https://doi.org/10.22452/JAT.vol15no2.4
Hamat, M. F. (2021).
Implementation of naqli and ‘aqli on the existence of allah according to
al-ghazali based on ihya’ ‘ulum al-din. Afkar, 23(1), 91–138.
https://doi.org/10.22452/afkar.vol23no1.3
Hamat, M. F., Shuhari, M.
H., Rozali, M. H., & Makdom, A. H. A. (2021). Implementation of naqli and
‘aqli on the existence of allah according to al-ghazali based on ihya’ ‘ulum
al-din. Afkar, 23(1), 91–138.
https://doi.org/10.22452/afkar.vol23no1.3
Heffernan, G. (2022).
Husserl’s Phenomenology of Existence: A Very Brief Introduction. In Contributions
To Phenomenology (Vol. 120, pp. 1–30). Springer Nature.
https://doi.org/10.1007/978-3-031-05095-4_1
Ja’far. (2023). BAYANI
EPISTEMOLOGIES IN MODERN INDONESIA: The Contribution of AI Washliyah Ulama to
Quranic Exegesis Studies. Miqot Jurnal Ilmu Ilmu Keislaman, 47(1),
1–17. https://doi.org/10.30821/miqot.v47i1.1079
Ja’far. (2024).
ANTI-AHMADIYYA RULINGS IN EAST SUMATRA: AN EPISTEMOLOGICAL REVIEW OF RELIGIOUS
OPINION IN PRE-INDEPENDENCE INDONESIA. Teosofi Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran
Islam, 14(2), 53–93.
https://doi.org/10.15642/teosofi.2024.14.2.53-93
Jujun S. Suriansumantri, Ilmu dalam
Perspektif, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012, hlm 2
Khatamunisa, R. (2020).
KRITIK METODOLOGI (BAYANI, IRFANI’ DAN BURHANI) MUHAMMAD ABED AL-JABIRI. El
Mashlahah, 10(2), 43–51.
https://doi.org/10.23971/maslahah.v10i2.1984
Lamola, M. J. (2021).
Paulin Hountondji, Knowledge as Science, and the Sovereignty of African
Intellection. Social Epistemology, 35(3), 270–284.
https://doi.org/10.1080/02691728.2020.1849441
Leirvik, O. (2020). Islamic
humanism or humanistic islam? Interreligious Studies and Intercultural
Theology, 4(1), 88–101. https://doi.org/10.1558/isit.40611
Loidolt, S. (2024). EDMUND
HUSSERL: Idealistic Politics and Communal Spirit. In Routledge Handbook of
Political Phenomenology (pp. 18–29).
https://doi.org/10.4324/9781003197430-4
McGrath, M. B. (2023).
Cultural appropriation: an Husserlian account. Continental Philosophy Review,
56(3), 483–504. https://doi.org/10.1007/s11007-023-09605-3
Mufid, A. (2023). Rereading
Nasr Hamid Abu Zayd’s method of interpreting religious texts. Hts Teologiese
Studies Theological Studies, 79(1).
https://doi.org/10.4102/hts.v79i1.8102
Mufid, A., Massoweang, A.
K., Mujizatullah, M., Muslim, A., & Yani, Z. (2023). Rereading Nasr Hamid
Abu Zayd’s method of interpreting religious texts. HTS Teologiese Studies /
Theological Studies, 79(1). https://doi.org/10.4102/hts.v79i1.8102
Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah
al-‘Aql al-‘Arabi, Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, Beirut, Lebanon,
1986
Mukhlishin. (2023).
Unveiling the Power of Burhānī Epistemology in Reshaping Islamic Economic Law
for a Fair Financial Landscape. Al Ahkam Jurnal Ilmu Syari Ah Dan Hukum,
8(2), 146–162. https://doi.org/10.22515/alahkam.v8i2.8482
Mun’im, Z. (2022). The
Epistemology of MUI’s Fatwas on Covid-19: Bayani and Burhani Eclecticism. Al
Istinbath Jurnal Hukum Islam, 7(1), 1–20.
https://doi.org/10.29240/jhi.v7i1.3216
Oweidat, N. (2024). Reform
and its perils in contemporary Islam: The Case of Nasr Hamid Abu Zayd. In Reform
and Its Perils in Contemporary Islam the Case of Nasr Hamid Abu Zayd.
https://doi.org/10.1093/9780197744123.001.0001
Saifi, M. (2024). The
al-Jābirī–Ṭarābīshī Controversy: Arab Modernists in the Grip of Turāth. Miscelanea
De Estudios Arabes Y Hebraicos Seccion Arabe Islam, 73, 245–282.
https://doi.org/10.30827/meaharabe.v73.26772
Santis, D. De. (2022).
Theodor Conrad, Zum Gedächtnis Edmund Husserls (Ein unveröffentlichter Aufsatz
aus der Bayerischen Staatsbibliothek). Husserl Studies, 38(1),
55–66. https://doi.org/10.1007/s10743-021-09289-8
Sepúlveda, J. G. M. (2020).
The phenomenology of edmund husserl as an epistemological basis of qualitative
methods. Revista Notas Historicas Y Geograficas, 25, 1–25.
https://www.scopus.com/inward/record.uri?partnerID=HzOxMe3b&scp=85107857583&origin=inward
Sholihan, Falsafah Kesatuan Ilmu: Paradigma Keilmuan UIN Walisongo,
Semarang, RaSail Media Grup, 2021,hlm 2
Smirnov, A. V. (2024).
Reason, Language, and Culture: Reading Al-Jābirī’s “Arab Reason” Concept
Today*. Voprosy Filosofii, 2024(7), 51–58.
https://doi.org/10.21146/0042-8744-2024-7-51-58
Supena, I. (2021a).
EPISTEMOLOGY OF ISLAM NUSANTARA AND ITS IMPLICATION TO LIBERAL THOUGHT OF
INDONESIAN ISLAM. European Journal of Science and Theology, 17(2),
23–34.
https://www.scopus.com/inward/record.uri?partnerID=HzOxMe3b&scp=85139046430&origin=inward
Supena, I. (2021b).
Konstruksi epistemologi fikih pandemik: Analisis fatwa-fatwa mui. Al-Manahij:
Jurnal Kajian Hukum Islam, 15(1), 121–136.
https://doi.org/10.24090/mnh.v15i1.4203
Supena, I. (2022).
Gadamer’s Philosophical Hermeneutics on Religious Language and COVID-19. In Filosofija,
Sociologija (Vol. 33, Issue 3, pp. 310–317). Lithuanian Academy of Sciences
Publishers. https://doi.org/10.6001/fil-soc.v33i3.4780
Supena, I. (2024).
Epistemology of Tafsīr, Ta’wīl, and Hermeneutics: Towards an Integrative
Approach. Journal of Islamic Thought and Civilization, 14(1),
121–136. https://doi.org/10.32350/jitc.141.08
Widigdo, M. S. A. (2024).
ARAB-MUSLIM INTELLECTUAL RESPONSES TO MODERNITY: NAVIGATING ANXIETY AND
AUTHENTICITY IN THE THOUGHTS OF MUHAMMAD ABID AL-JABIRI AND ABDURRAHMAN TAHA. Afkar,
26(2), 1–30. https://doi.org/10.22452/afkar.vol26no2.1
[1]
Gadamer’s Philosophical Hermeneutics on Religious Language and COVID-19, Supena
I, Filosofija, Sociologija.
[2]
Jujun S. Suriansumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2012, hlm 2
[3] Sholihan, Falsafah Kesatuan Ilmu: Paradigma Keilmuan UIN Walisongo,
Semarang, RaSail Media Grup, 2021,hlm 2
[4]
Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Markaz Dirasat al-Wihdah
al-‘Arabiyyah, Beirut, Lebanon, 1986
[5] Hallaq, W. B. (1997). A History of Islamic Legal
Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh. Cambridge: Cambridge
University Press.
[6]
Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Markaz Dirasat al-Wihdah
al-‘Arabiyyah, Beirut, Lebanon, 1986
[7]
Reason, Language, and Culture: Reading Al-Jābirī’s “Arab Reason” Concept
Today*Smirnov A, Voprosy Filosofii (2024) 2024(7) 51-58.
[8]
Early Islam in Medina: Mālik and His Muwaṭṭa’Dutton YBloomsbury Publishing
Plc., (2021), 1-144
[9]
Implementation of naqli and ‘aqli on the existence of allah according to
al-ghazali based on ihya’ ‘ulum al-dinHamat MAfkar (2021) 23(1) 91-138
[10]
KRITIK METODOLOGI (BAYANI, IRFANI’ DAN BURHANI) MUHAMMAD ABED AL-JABIRI,
Khatamunisa REl Mashlahah (2020) 10(2) 43-51
[11]
Al-Jabiri's Quranic Hermeneutics and Its Significance for Religious Education,
Arif M, Lessy ZKemanusiaan (2023) 30(1) 34-56
[12]
Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Markaz Dirasat al-Wihdah
al-‘Arabiyyah, Beirut, Lebanon, 1986
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Setiap komentar hendaknya bernilai positif, memperhatikan etika dan tidak menyinggung SARA. Terimakasih.