Konsep-Konsep Penting Fenomenologi Edmund Husserl dan Sumbangsihnya Kepada Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Oleh:
Suprapto
Mahasiswa
S3 Studi Islam UIN Walisongo Semarang
Suprapto059@gmail.com
Abstrak
Fenomenologi murni, kita
gambarkan dan tunjukkan sebagai ilmu yang mendasar bagi filsafat, adalah ilmu
yang pada hakikatnya baru yang, sebagai akibat dari kekhasan hakikinya yang
paling radikal, jauh dari pemikiran alamiah dan karena itu hanya pada zaman
kita ini yang bergerak maju ke arah perkembangan. Ilmu ini disebut ilmu
"fenomena".[1] Husserl berupaya
mendasarkan pemikiran pada tempat yang benar-benar kokoh dengan menelusuri hakikat
kesadaran dan pengalaman manusia sebagaimana adanya. “Husserl juga menpengertiankan
transendensi sebagai cara pemberian fenomena yang tidak muncul sekaligus”[2]
Kata
Kunci: Fenomenologi, Edmund Huserl, intensionalitas, epoche, reduksi
fenomenologis, eidetic
Pendahuluan
Filsafat
sepanjang sejarahnya terus mencari jawaban fundamental mengenai keberadaan,
pengetahuan, dan kenyataan. Berbagai masalah memasuki alam pikiran manusia untuk
menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan beragam buah pemikiran telah
dihasilkan, sebagai bagian dari buah kesadarannya.[3]
Sebagai ilmu, filsafat telah lahir sejak kurang lebih duapuluh lima abad yang
lalu.[4]
Di Eropa, selama tahun 1920-an dan 1930-an terjadi
krisis dan sangat tertarik pada apa yang dikenal di dunia sebagai
Existenzphilosophie. Namun, "filsafat eksistensi" bukanlah
satu-satunya gaya berfilsafat kontemporer, untuk gagasan-gagasannya tentang
Fenomenologi Murni dan Filsafat Fenomenologis".
Abad
ke-19, filsafat ditandai oleh dominasi pemikiran positivisme dan rasionalisme, ketika
Husserl hadir dengan gagasan bahwa pengalaman subjektif bukanlah hal yang
sekunder, melainkan pusat dari segala pengetahuan. Ia mengembangkan metode
reduksi fenomenologis, yaitu proses menangguhkan (epoché) semua keyakinan
tentang dunia luar agar dapat memahami bagaimana objek-objek muncul dalam
kesadaran. Dengan demikian, fenomenologi menjadi pendekatan yang tidak hanya
deskriptif tetapi juga reflektif dan kritis terhadap struktur pengalaman
manusia.
Pemikiran
Edmund Husserl, dimulai dari sejarah hidup singkatnya, tokoh-tokoh yang
mempengaruhi pemikirannya, hingga analisis sumbangsih fenomenologi terhadap
perkembangan pemikiran manusia. Berbagai kritik terhadap fenomenologi Husserl,
baik yang datang dari ilmuwan sezamannya maupun dari generasi berikutnya, juga
turut dibahas.
Gagasan
transendensi fenomenologis dalam Husserl dan Heidegger awal: Husserl
mendefinisikan transendensi terutama sebagai cara pemberian fenomena yang tidak
muncul sekaligus, tetapi harus diberikan dalam profil parsial; Heidegger
mendefinisikan transendensi terutama sebagai kapasitas Dasein untuk melampaui
entitas menuju keberadaan. Pemahaman yang berbeda tentang transendensi
fenomenologis ini telah menghasilkan perbedaan yang signifikan dalam penerimaan
di antara para fenomenolog agama Prancis. Para pemikir ini menegaskan bahwa
fenomenologi, ketika dipahami dan digunakan dengan tepat, dapat memberi ruang
bagi yang ilahi dan wahyu-Nya, yaitu, untuk transendensi metafisik. Para
pemikir ini lebih menyukai fenomenologi Heidegger daripada Husserl karena
mereka memahami transendensi Heidegger sebagai keterbukaan subjek terhadap
keberadaan, sementara mereka memahami transendensi Husserl sebagai batas,
sebagai ketidakmampuan untuk menangkap objek-objek duniawi. Saya mengambil
fenomenologi tentang pemberian milik Jean-Luc Marion sebagai "studi
kasus" untuk menggambarkan hal ini. Akhirnya, saya berpendapat bahwa
preferensi untuk Heidegger daripada Husserl ini salah tempat dan harus dibalik.
Pembacaan yang cermat terhadap Fenomenologi Kehidupan Religius karya Heidegger
menunjukkan bahwa Dasein terbatas pada kemungkinan-kemungkinannya sendiri dan
tidak dapat terbuka terhadap hubungan dengan yang ilahi. Sebaliknya,
fenomenologi Husserl memberikan keterbukaan radikal yang diperlukan untuk
menyambut wahyu. Sementara Husserl tidak dapat membayangkan "Tuhan
duniawi," struktur horizonalitas dan temporalitas mencirikan subjek yang
mampu memiliki keterbukaan yang autentik terhadap wahyu.[5]
Dengan pendekatan ini, diharapkan pembaca
mampu menangkap signifikansi fenomenologi sebagai metode dalam filsafat
sekaligus memahami berbagai tantangan yang menyertainya.
Fenomenologi
tidak hanya merupakan salah satu aliran dalam filsafat, tetapi juga telah
memberikan pengaruh yang luas terhadap berbagai disiplin ilmu, termasuk
psikologi, antropologi, sosiologi, hingga teologi. Dengan memahami cara
pengalaman terbentuk dalam kesadaran, para ilmuwan dan praktisi dari berbagai
disiplin dapat menggali pemahaman yang lebih mendalam mengenai makna, nilai,
serta eksistensi manusia. Oleh karena itu, gagasan-gagasan Husserl masih layak
untuk ditelaah, khususnya di tengah realitas dunia modern yang dipenuhi krisis
makna, rasa keterasingan, dan kecenderungan dehumanisasi.
Biografi
Singkat Edmund Husserl
Husserl
dilahirkan di kota Prossnitz (Moravia) tanggal 8 April 1859. Keluarganya
menganut Yahudi non-ortodoks; Husserl beserta istrinya kemudian pindah agama
menjadi Kristen Protestan. Mereka dikaruniai tiga orang anak, dan salah satunya
ikut dalam Perang Dunia I dan meninggal pada perang tersebut. Pada tahun
1876–1878 Husserl belajar astronomi di Leipzig, dan kuliah dalam bidang
matematika, fisika, dan filsafat. Dia juga menyimak kuliah-kuliah filsafat
karya Wilhelm Wundt. (Wundt adalah pencetus lembaga pertama untuk psikologi
eksperimental.) Mentor Husserl adalah Thomas Masaryk, mantan murid Brentano,
yang kemudian menjadi presiden pertama Cekoslowakia. Pada tahun 1878–1881
Husserl kemudian meneruskan studinya dalam ilmu matematika, fisika, dan
filsafat di Berlin.[6]
Tokoh
yang mempengaruhi pemikiran Husserl antara lain adalah Franz Brentano,[7]
terutama melalui pemikiran tentang intensionalitas—bahwa kesadaran selalu
berkaitan dengan objek. Konsep ini menjadi fondasi dari fenomenologi Husserl. Carl
Stumpf[8]
berperan dalam membentuk pendekatan nyata dan analitis Husserl terhadap
fenomena mental.
Konsep-Konsep
Penting dalam Fenomenologi Husserl
1.
Intensionalitas (Intentionality)
Husserl terkenal karena
diperkenalkan ke dunia filsafat oleh Franz Brentano (1838–1917), yang
memperkenalkan kembali gagasan abad pertengahan tentang
"intensionalitas" ke dalam refleksi filosofis kontemporernya; Husserl
kemudian secara mandiri mengembangkan konsep tersebut dalam Logical
Investigations-nya, karya yang menandai dimulainya fenomenologi.[9]
Intensionalitas
adalah ciri utama dari setiap pengalaman kesadaran, yaitu bahwa kesadaran
selalu sadar akan sesuatu. Tidak ada kesadaran yang berdiri sendiri; setiap
akta kesadaran (seperti berpikir, merasakan, membayangkan) selalu mengacu
kepada suatu objek, baik nyata maupun imajinatif.[10]
Konsep ini mengkritik pandangan nyata yang menganggap kesadaran sebagai entitas
pasif yang menerima data dari dunia luar. Sebaliknya, Husserl menyatakan bahwa
kesadaran itu aktif membentuk makna terhadap dunia.
2.
Epoché (Pengurungan atau Penangguhan Penilaian)
Epoché adalah tindakan menangguhkan semua penilaian atau
asumsi tentang keberadaan dunia luar. Tujuannya adalah untuk menempatkan segala
sesuatu dalam tanda kurung, agar dapat melihat bagaimana dunia itu terlihat
dalam kesadaran tanpa campur tangan prasangka atau keyakinan apriori. Tujuannya
adalah untuk memfokuskan perhatian pada bagaimana objek dunia tersebut
dihadirkan dalam kesadaran kita. Contoh dari pengurungan ini adalah ketika kita
membayangkan realita sebuah gunung. Dari kejauhan, gunung sering terlihat
berwarna biru atau kelabu kebiruan akibat efek atmosfer yang disebut aerial
perspective, di mana partikel udara dan uap air membiaskan cahaya yang
menyebabkan warna-warna cerah meredup. Namun, saat mendakinya, warna gunung
berubah menjadi lebih jelas dan beragam. Pepohonan yang berwarna hijau, tanah
yang berwarna cokelat, batu yang abu-abu, serta bunga yang berwarna-warni, atau
lumut yang mulai tampak nyata. Perbedaan ini mencerminkan bagaimana jarak dan
kondisi cahaya memengaruhi persepsi visual kita terhadap lanskap alam.
Dalam karya Patočka, epoché, yang secara
tradisional dipahami sebagai langkah mundur radikal dari dunia, harus dimaknai
secara berbeda, tidak hanya sebagai kebebasan negatif, tetapi juga sebagai
landasan politik positif.[11]
3.
Reduksi Fenomenologis (Phenomenological Reduction)
Reduksi fenomenologis merupakan inti dari metode
fenomenologi Edmund Husserl yang bertujuan untuk kembali pada hakikat
pengalaman murni dengan cara menyisihkan segala prasangka, asumsi, dan
pengetahuan sebelumnya tentang realitas yang sedang diamati. Dalam pendekatan
ini, seseorang diajak untuk menangguhkan (atau dalam istilah Husserl disebut epoché)
keyakinan terhadap keberadaan dunia luar sebagaimana biasanya dipercayai dalam
kehidupan sehari-hari. Reduksi ini bukan berarti menolak realitas eksternal,
melainkan menghentikan penilaian tentang keberadaannya agar pengalaman dapat
ditelaah sebagaimana ia hadir dalam kesadaran secara langsung. Melalui langkah
ini, subjek tidak lagi memandang objek sebagai sesuatu yang "sudah jadi"
atau "sudah dikenal", tetapi membuka diri pada bagaimana objek itu
menampakkan dirinya kepada kesadaran.
Dengan begitu, pengalaman akan suatu hal dapat dikaji secara
lebih jernih dan mendalam, tanpa campur tangan kerangka berpikir sebelumnya,
baik dari sains, agama, maupun budaya. Contohnya, ketika seseorang melihat
sebuah pohon, biasanya ia langsung mengidentifikasinya sebagai
"pohon" berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya. Namun
melalui reduksi fenomenologis, seseorang mencoba mengesampingkan segala
pengetahuan itu dan memusatkan perhatian hanya pada bagaimana pohon itu muncul
dalam kesadarannya—bentuknya, warnanya, kesan rindangnya, cahaya yang menimpa
daunnya, dan bagaimana semuanya itu dialami secara langsung oleh subjek. Dalam
konteks ini, fenomena tidak dilihat sebagai sesuatu yang objektif di luar sana,
tetapi sebagai sesuatu yang "diberikan" kepada kesadaran dalam suatu
momen pengalaman tertentu.
Reduksi ini membawa peneliti atau pengamat pada pemahaman
yang lebih murni dan esensial terhadap objek pengalaman, dengan fokus pada
korelasi antara subjek dan objek sebagaimana termanifestasi dalam kesadaran.
Selain itu, reduksi fenomenologis juga membebaskan pemikiran dari kecenderungan
naturalistik—yakni kebiasaan berpikir bahwa realitas semata-mata terdiri dari
objek-objek yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Husserl menegaskan bahwa
sebelum sains dapat menjelaskan dunia, harus terlebih dahulu dipahami bagaimana
dunia itu hadir secara langsung dalam pengalaman manusia.
Dalam konteks ini, reduksi fenomenologis membuka jalan
menuju penemuan hakikat esensial dari sesuatu, yang tidak tergantung pada
keberadaan fisik atau interpretasi sosialnya, melainkan bagaimana ia dialami
secara subjektif. Metode ini sangat penting dalam berbagai bidang, termasuk
filsafat, psikologi, pendidikan, bahkan teologi, karena membantu memahami
struktur makna yang mendasari kesadaran manusia dalam hubungannya dengan dunia.
Oleh sebab itu, reduksi fenomenologis tidak sekadar langkah teknis, tetapi sebuah
upaya mendalam untuk menyentuh fondasi kesadaran dan pengalaman manusia, yang
menjadi dasar dari segala pengetahuan dan pemaknaan dalam hidup.
Dengan
kata lain, konsep ini merupakan proses penyaringan realitas hingga kita
mencapai inti dari pengalaman murni. Setelah melakukan epoché, kita melakukan
reduksi untuk melihat esensi dari suatu fenomena. Tujuannya adalah menemukan
struktur dasar dari pengalaman tanpa gangguan interpretasi kultural,
psikologis, atau ilmiah. Langkah-langkahnya adalah dengan cara melakukan epoché
(penangguhan), kemudian fokus pada bagaimana sesuatu hadir dalam kesadaran, dan
kemudian temukan “esensi” dari pengalaman tersebut. Contohnya adalah dalam
pengalaman merasakan "takut", reduksi bertujuan menemukan elemen
universal dari rasa takut: adakah objek ancaman, keterbatasan kontrol, dan
reaksi fisik, bukan pada detail spesifik pengalaman itu.
4.
Noesis dan Noema
Dua
unsur, noesis dan noema, yang sering dianggap sebagai beberapa istilah Husserl
yang paling bermasalah—dan, jika boleh saya katakan, paling konservatif.[12]
5.
Esensi (Wesensschau)
Esensi
adalah hakikat murni dari suatu fenomena—apa yang membuat sesuatu menjadi
dirinya sendiri. Metode yang digunakan adalah melalui proses intuisi esensial,
yakni merenungi suatu pengalaman secara berulang dalam variasi hingga
tersingkap struktur tetap yang menyusunnya. Misalnya ketika kita memikirkan apa
esensi dari lampu? Apakah harus bulat? Tidak. Tapi lampu selalu punya fungsi
sebagai alat penerang, itulah esensinya. Contoh yang lainnya adalah ketika kita
memikirkan handphone, apakah mereknya? Apakah
harus merek tertentu? Tidak. Tapi handphone adalah alat komunikasi jarak
jauh. Itulah esensinya. Tujuan dari metode ini adalah
Menemukan dasar universal dari pengalaman manusia yang melampaui pengalaman
individual.
6.
Dunia Kehidupan (Lebenswelt)
Konsep
ini dikembangkan lebih lanjut oleh Husserl di masa akhir hidupnya. Lebenswelt
berarti dunia yang kita alami sehari-hari secara langsung dan pra-reflektif,
sebelum diberi penjelasan ilmiah. Contoh:
Seseorang yang minum kopi di pagi hari tidak berpikir tentang komposisi
kimianya, tetapi mengalaminya sebagai kehangatan, aroma, kenikmatan. Contoh
lainnya adalah ketika seseorang memandangi gunung dari kejauhan, dia tidak
berfikir tentang pohonnya, rumput,batu, tanah dan lumutnya, tapi yang ia
rasakan adalah keindahannya. Itulah Lebenswelt. Husserl mengkritik sains modern
yang kehilangan kontak dengan dunia kehidupan karena terlalu teknis dan
objektif. Ia ingin mengembalikan fokus filsafat pada dunia sebagaimana dialami
manusia secara langsung.
7.
Transendental Ego
Dalam
pembahasan ini ada perbedaan antara Husserl dan Heidegger. Perbedaan antara
Edmund Husserl dan Martin Heidegger berdasarkan perbedaan Pascal antara esprit
de géometrie dan esprit de finesse. Menurut Pascal, "prinsip"
esensial yang mendominasi kehidupan persepsi kita tidak dapat ditunjukkan
dengan jelas dan percaya diri dengan cara yang mirip dengan logika dan
matematika, tetapi harus dipahami dengan cara yang lebih spontan atau intuitif.
Tidak mengherankan bahwa Husserl, yang awalnya adalah seorang mahasiswa
matematika, mungkin tampak lebih dekat dengan esprit de géometrie, sedangkan
Heidegger, yang terlatih dalam teologi dan tertarik pada penyair dan pemikir
puitis, lebih dekat dengan esprit de finesse.
Perbedaan
ini jelas dari gaya penulisan kedua tokoh penting ini. Perbedaan gaya ini juga
terkait dengan substansi filosofi masing-masing, dan dengan pendekatan yang
mereka rekomendasikan untuk mengeksplorasi kehidupan subjektif. Perbedaan
terkait menyangkut bagaimana masing-masing ahli teori menanggapi apa yang
disebut Husserl sebagai "paradoks subjektivitas manusia" dan apa yang
kemudian disebut Michel Foucault sebagai "doublet
empiris-transendental": fakta bahwa, dalam melakukan fenomenologi,
kesadaran manusia ada sebagai subjek dan objek pengetahuan kita. Husserl
sebagian besar menekankan keuntungan, epistemologis dan eksistensial, yang
dapat diberikan oleh refleksivitas potensial ini. Heidegger lebih tertarik pada
hambatan atau jebakan yang ditimbulkannya—baik untuk pengetahuan diri yang
akurat maupun untuk kehidupan yang autentik. Isu-isu ini dibahas dalam
kaitannya dengan "sikap alami" dan "kehidupan sehari-hari,"
dan dengan landasan linguistik keberadaan dan pengetahuan manusia—terutama
karena isu-isu ini muncul dalam Les mots et les choses karya Foucault dan
Meditasi Cartesian Keenam karya Eugen Fink.[13]
Husserl
percaya bahwa di balik semua pengalaman terdapat kesadaran murni atau subjek
transendental, yang menjadi pusat dari seluruh struktur pengalaman. Bukan ego
psikologis (yang berubah-ubah), tetapi subjek yang tidak berubah, yang
“melihat” dan “menyadari”. Konsep ini dikritik oleh murid-muridnya karena
terlalu mengabsolutkan subjek dan mengabaikan keberadaan historis-kultural
manusia.
8.
Eidetik
Edmund
Husserl sering mengkarakterisasi esensi dan hukum eidetik dalam istilah
normatif. Namun, banyak pernyataannya yang terkait dengan hal ini sangat
membingungkan karena tampak bertentangan dengan pemahaman umum Husserl tentang
normativitas. Sebagian besar ketegangan yang tampak antara kedua dimensi
pemikiran filosofis Husserl ini. Menurut
pandangannya, esensi dan hukum eidetik tidak pernah secara intrinsik normatif,
dan bahwa tidak semua esensi dan tidak semua hukum eidetik yang sesuai dapat
berfungsi sebagai norma untuk contohnya. Namun, yang terpenting, menurut
Husserl, esensi dan hukum eidetik dapat berfungsi sebagai norma untuk berbagai
tindakan subjek. Dengan demikian menjelaskan dalam pengertian apa Husserl
berpikir bahwa esensi dan hukum eidetik dapat memiliki fungsi ini. Hukum
eidetik formal dapat menimbulkan norma deontik dan evaluatif untuk penilaian,
evaluasi, keinginan, dan tindakan kehendak yang benar atau rasional. Esensi
material dan hukum eidetik material juga memiliki fungsi normatif untuk
penilaian. Ini menunjukkan bagaimana pandangan Husserl memberi ruang bagi norma
yang tidak bergantung pada konteks atau berdasar secara subjektif.[14]
Sumbangsih
Fenomenologi pada Pemikiran Manusia
Fenomenologi
Edmund Husserl memberikan banyak sumbangsih penting. Diantaranya bahwa pengalaman
kesadaran sebagai titik tolak utama dalam memahami realitas. Husserl
menunjukkan bahwa objektivitas ilmiah tidak bebas dari prasangka dan harus
dikaji kembali secara fenomenologis. Dengan reduksi fenomenologis dan epoché,
Husserl menciptakan metode untuk mengkaji kesadaran secara reflektif dan
sistematis. Dalam volume kedua Logical Investigations, Husserl secara singkat
membahas pertanyaan apakah fenomenolog harus menggolongkan perasaan (Gefühle)
sebagai pengalaman yang intensional. Perasaan yang tidak intensional secara
eksklusif terbatas pada apa yang disebut Husserl sebagai perasaan sensorik
(sinnliche Gefühle) atau sensasi afektif (Gefühlsempfindungen).[15]
Tanggapan
terhadap Pemikiran Fenomenologi Husserl
Beberapa
ilmuwan, terutama Heidegger, menilai bahwa Husserl terlalu terfokus pada
kesadaran subjektif sehingga mengabaikan konteks historis dan eksistensial
manusia.[16]
Ada
satu kritik Celms terhadap idealisme transendental-fenomenologis Husserl. Celms
berpendapat bahwa terlepas dari penjelasannya tentang intersubjektivitas,
Husserl tidak dapat lepas dari ancaman solipsisme. Pertama, ada bukti yang
mendukung hipotesis bahwa Meditasi Kelima Husserl merupakan respons terhadap
Celms. Jika demikian halnya, maka membaca Celms membawa kita pada posisi yang
lebih bagus untuk menafsirkan Meditasi Kelima dan mengevaluasi keberhasilan
argumen Husserl di dalamnya. Kedua, untuk membela Husserl, teori transendental
intersubjektivitas yang disajikan dalam Meditasi Kelima merupakan upaya untuk
menetralkan ancaman solipsisme transendental, tetapi tidak serta merta
menghalangi beberapa bentuk solipsisme pluralistik-epistemik. Namun, ini tidak
serta merta merupakan hasil yang bermasalah.[18]
Kesimpulan
Pemikiran
Edmund Husserl melalui fenomenologinya memberikan sumbangan besar dalam tradisi
filsafat modern. Ia berhasil merumuskan metode untuk memahami pengalaman
manusia secara murni dan reflektif melalui konsep-konsep seperti
intensionalitas dan reduksi fenomenologis. Walaupun pemikirannya menuai kritik,
terutama dalam hal kecenderungan subjektivisme, fenomenologi tetap menjadi
pendekatan yang penting dalam memahami kesadaran, makna, dan eksistensi
manusia. Relevansinya tetap kuat dalam dunia kontemporer yang menuntut
pendekatan yang lebih manusiawi dan reflektif terhadap realitas. Dengan
pemikiran Husserl, kita diajak untuk lebih jujur dalam melihat dunia
sebagaimana dialami, bukan sekadar sebagaimana dipersepsikan secara ilmiah atau
nyata.
Daftar
Pustaka
Andrews, I. (2020). Chance,
Phenomenology and Aesthetics: Heidegger, Derrida and Contingency in Twentieth
Century Art. In Chance Phenomenology and Aesthetics Heidegger Derrida and
Contingency in Twentieth Century Art.
https://www.scopus.com/inward/record.uri?partnerID=HzOxMe3b&scp=85168012475&origin=inward
Artur, Z. (2020). A
speculative turn or a return to the sources of thinking? About the “quartets”
by Martin Heidegger and Graham Harman. Przestrzenie Teorii, 34,
245–265. https://doi.org/10.14746/PT.2020.34.11
Ayala-Colqui, J. (2023).
The animal, is it a possible otherness? Phenomenological inquiries from husserl
and heidegger. Trans Form Acao, 46(2), 133–158.
https://doi.org/10.1590/0101-3173.2023.v46n2.p133
Belt, J. (2022). Eidetic
Variation: a Self-Correcting and Integrative Account. Axiomathes, 32,
405–434. https://doi.org/10.1007/s10516-021-09611-1
Bicudo, M. A. V. (2020).
THE ORIGIN OF NUMBER AND THE ORIGIN OF GEOMETRY: ISSUES RAISED AND CONCEPTIONS
ASSUMED BY EDMUND HUSSERL. Revista Pesquisa Qualitativa, 8(18),
387–418. https://doi.org/10.33361/RPQ.2020.v.8.n.18.337
Buongiorno, F. (2021a).
Drive and Object: The Intentionality of Desire in Edmund Husserl. Iride,
34(3), 543–558. https://doi.org/10.1414/103690
Buongiorno, F. (2021b).
Drive and Object: The Intentionality of Desire in Edmund Husserl. Iride,
34(3), 543–558. https://doi.org/10.1414/103690
Carta, E. (2021). Husserl
on Eidetic Norms. Husserl Studies, 37(2), 127–146.
https://doi.org/10.1007/s10743-020-09284-5
Cassara, B. (2022).
Phenomenology and Transcendence: On Openness and Metaphysics in Husserl and
Heidegger. Religions, 13(11). https://doi.org/10.3390/rel13111127
Cauvin, J. P. (2020). From
phenomenology to the philosophy of the concept: Jean cavaillès as a reader of
Edmund Husserl. Hopos, 10(1), 24–47.
https://doi.org/10.1086/707600
Claudio, R. (2021). The
concept of “tradition” in edmund husserl. Philosophies, 6(1).
https://doi.org/10.3390/philosophies6010001
Crişan, H. T. (2020).
Illness and two meanings of phenomenology. Journal of Evaluation in Clinical
Practice, 26(2), 425–430. https://doi.org/10.1111/jep.13350
Doyon, M. (2024).
Phenomenology and the norms of perception. In Phenomenology and the Norms of
Perception. https://doi.org/10.1093/9780191993527.001.0001
DuFour, T. (2023).
Environmentality: A Phenomenology of Generative Space in Husserl. Research
in Phenomenology, 53(3), 331–358. https://doi.org/10.1163/15691640-12341531
Edmund
Husserl, Ideas Pertaining to A Pure Phenomenology and to A Phenomenologycal
Philosopy (1983)
Friesen, N. (2022).
Phenomenology and education: researching pedagogical experience. In International
Encyclopedia of Education Fourth Edition (pp. 131–140).
https://doi.org/10.1016/B978-0-12-818630-5.11015-2
Gros, A. (2023). What is
phenomenology? A brief and up-to-date introduction for sociologists. Revista
Colombiana De Sociologia, 46(1), 293–324.
https://doi.org/10.15446/rcs.v46n1/94966
Haensler, P. P. (2020).
Phenomenology to the letter: Husserl and literature. In Phenomenology to the
Letter Husserl and Literature. https://doi.org/10.1515/9783110654585
Heffernan, G. (2022a).
Husserl’s Phenomenology of Existence: A Very Brief Introduction. In Contributions
To Phenomenology (Vol. 120, pp. 1–30). Springer Nature.
https://doi.org/10.1007/978-3-031-05095-4_1
Heffernan, G. (2022b).
Husserl’s Phenomenology of Existence: A Very Brief Introduction. In Contributions
to Phenomenology (Vol. 120, pp. 1–30).
https://doi.org/10.1007/978-3-031-05095-4_1
Janoušek, H. (2020). Early
Phenomenology in Prague. In Contributions to Phenomenology (Vol. 113,
pp. 17–34). https://doi.org/10.1007/978-3-030-39623-7_2
Jardine, J. (2020). Edmund
Husserl. In Routledge Handbook of Phenomenology of Emotion (pp. 53–62).
https://doi.org/10.4324/9781315180786-4
Jujun S. Suriansumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2012.
Kinkaid, J. (2020).
Phenomenology and the stratification of reality. European Journal of
Philosophy, 28(4), 892–910. https://doi.org/10.1111/ejop.12546
Kirsberg, I. W. (2023). Is
Causality Admissible in Phenomenology? A Corrective to Edmund Husserl’s Idea. Phainomena,
32(124), 203–220. https://doi.org/10.32022/PHI32.2023.124-125.9
Kivle, I. (2020). The
review of the international interdisciplinary conference ⇜to let things be! edmund
husserl 160, Martin Heidegger 130” (December 10-12, 2019, Riga, Latvia). In Horizon
Studies in Phenomenology (Vol. 9, Issue 1, pp. 373–381).
https://doi.org/10.21638/2226-5260-2020-9-1-373-381
Lewandowski, R. (2021). THE
TRUTH, ITS ONTOLOGICAL ASPECTS and the IDEA of INFINITE INTELLECT in EDMUND
HUSSERL’S LOGICAL INVESTIGATIONS. Roczniki Filozoficzne, 69(4),
83–124. https://doi.org/10.18290/RF21694-5
Loidolt, S. (2024). EDMUND
HUSSERL: Idealistic Politics and Communal Spirit. In Routledge Handbook of
Political Phenomenology (pp. 18–29).
https://doi.org/10.4324/9781003197430-4
Marosan, B. P. (2020).
Edmund husserl’s constructive phenomenology in the c-manuscripts and other late
research manuscripts. Phainomena, 29(112), 5–24.
https://doi.org/10.32022/PHI29.2020.112-113.1
McGillen, M. (2020).
Husserl’s image worlds and the language of phenomenology. In Phenomenology
to the Letter Husserl and Literature (pp. 23–44).
https://doi.org/10.1515/9783110654585-002
Meacham, D. (2021). Epoché
and institution: the fundamental tension in Jan Patočka’s phenomenology. Studies
in East European Thought, 73(3), 309–326.
https://doi.org/10.1007/s11212-020-09398-8
Mezei, B. M. (2022).
Apocalyptic Phenomenology: The Culmination of the Phenomenological Movement. Religions,
13(11). https://doi.org/10.3390/rel13111077
Nizhnikov, S. A. (2020).
A.F. losev’s dialectics and phenomenology. Voprosy Filosofii, 6(2020),
116–125. https://doi.org/10.21146/0042-8744-2020-6-116-125
Pizzi, M. I. (2020).
“Reaching God without God”. The relationship between phenomenology and theology
in Edmund Husserl and Jean-Luc Marion. Arete, 32(2), 417–441.
https://doi.org/10.18800/arete.202002.006
Poitras, G. (2021).
Phenomenology and heterodox economics. Review of Social Economy, 79(2),
333–356. https://doi.org/10.1080/00346764.2019.1669811
Pula, B. (2024). Alfred
Schutz, Phenomenology, and the Renewal of Interpretive Social Science. In Alfred
Schutz Phenomenology and the Renewal of Interpretive Social Science.
https://doi.org/10.4324/9781003461098
Rodemeyer, L. (2020).
Noesis, and noema, and gender-oh my! Journal of Speculative Philosophy, 34(3),
248–264. https://doi.org/10.5325/jspecphil.34.3.0248
Rozzoni, C. (2021).
Intentionality, Phantasy, and Image Consciousness in Edmund Husserl. In Palgrave
Handbook of Image Studies (pp. 249–263).
https://doi.org/10.1007/978-3-030-71830-5_15
Santis, D. De. (2022).
Theodor Conrad, Zum Gedächtnis Edmund Husserls (Ein unveröffentlichter Aufsatz
aus der Bayerischen Staatsbibliothek). Husserl Studies, 38(1),
55–66. https://doi.org/10.1007/s10743-021-09289-8
Santis, D. De. (2023).
Edmund Husserl’s Cartesian Meditations: Commentary, interpretations,
discussions. In Edmund Husserl S Cartesian Meditations Commentary
Interpretations Discussions.
https://www.scopus.com/inward/record.uri?partnerID=HzOxMe3b&scp=85175148187&origin=inward
Sass, L. (2021a). Husserl,
Heidegger, and the paradox of subjectivity. Continental Philosophy Review,
54(3), 295–317. https://doi.org/10.1007/s11007-021-09540-1
Sass, L. (2021b). Husserl,
Heidegger, and the paradox of subjectivity. Continental Philosophy Review,
54(3), 295–317. https://doi.org/10.1007/s11007-021-09540-1
Sepúlveda, J. G. M. (2020).
The phenomenology of edmund husserl as an epistemological basis of qualitative
methods. Revista Notas Historicas Y Geograficas, 25, 1–25. https://www.scopus.com/inward/record.uri?partnerID=HzOxMe3b&scp=85107857583&origin=inward
Sholihan, Falsafah
Kesatuan Ilmu: Paradigma Keilmuan UIN Walisongo, Semarang, RaSail Media Grup,
2021
Stephenson, J. (2024).
Ambient Temporalities: Rethinking Object-Oriented Time through Kant, Husserl,
and Heidegger. Open Philosophy, 7(1).
https://doi.org/10.1515/opphil-2024-0035
Toronyai, G. (2024). On the
Personal, Intersubjective, and Metaphysical Senses of Death: An Inquiry into
Edmund Husserl’s Transcendental Phenomenological Approach to Death. Husserl
Studies, 40(1), 67–88. https://doi.org/10.1007/s10743-023-09339-3
Varga, P. A. (2022). Edmund
Husserl on the Historicity of the Gospels. A Different Look at Husserl’s
Philosophy of Religion and his Philosophy of the History of Philosophy. Husserl
Studies, 38(1), 37–54. https://doi.org/10.1007/s10743-021-09298-7
Varga, P. A. (2023). An
eyewitness account of Edmund Husserl and Freiburg phenomenology in 1923–24.
Towards reclaiming the plurivocity of historical sources of the
Phenomenological Movement. Continental Philosophy Review, 56(4),
517–533. https://doi.org/10.1007/s11007-023-09619-x
[1] Edmund Husserl, Ideas
Pertaining to A Pure Phenomenology and to A Phenomenologycal Philosopy (1983)
[2]
Cassara B, Phenomenology and Transcendence: On Openness and Metaphysics in
Husserl and Heidegger (2022) 13(11)
[3]
Jujun S. Suriansumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2012, hlm 2
[4]
Sholihan, Falsafah Kesatuan Ilmu: Paradigma Keilmuan UIN Walisongo,
Semarang, RaSail Media Grup, 2021,hlm 2
[5]
Phenomenology and Transcendence: On Openness and Metaphysics in Husserl and
Heidegger ,Cassara B, Religions (2022) 13(11)
[6]
https://plato.stanford.edu/entries/husserl/#LifWor
[7]
https://plato.stanford.edu/entries/husserl/#LifWor
[8] https://plato.stanford.edu/entries/husserl/#LifWor
[9]
Intentionality, Phantasy, and Image Consciousness in Edmund Husserl, Rozzoni C,
Palgrave Handbook of Image Studies
[10]
Buongiorno F, Drive and Object: The Intentionality of Desire in Edmund Husserl,
Iride (2021) 34(3) 543-558
[11]
Meacham D, Epoché and institution: the fundamental tension in Jan Patočka’s
phenomenology Studies in East European Thought (2021) 73(3) 309-326
[12] Noesis,
and noema, and gender-oh my!Rodemeyer L, Journal of Speculative Philosophy
(2020) 34(3) 248-264
[13]
Husserl, Heidegger, and the paradox of subjectivity, Sass L, Continental
Philosophy Review (2021) 54(3) 295-317
[14]
Husserl on Eidetic Norms, Carta E, Husserl Studies (2021) 37(2)
127-146
[15]
Edmund Husserl, Jardine J, Routledge Handbook of Phenomenology of Emotion
[16]
Husserl, Heidegger, and the paradox of subjectivity, Sass L, Continental
Philosophy Review (2021) 54(3) 295-317
[17]
Husserl, Heidegger, and the paradox of subjectivitySass LContinental
Philosophy Review (2021) 54(3) 295-317
[18]
Does Husserl’s Phenomenological Idealism Lead to Pluralistic Solipsism?
Assessing the Criticism by Theodor CelmsParker RContributions to
Phenomenology
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Setiap komentar hendaknya bernilai positif, memperhatikan etika dan tidak menyinggung SARA. Terimakasih.