Halaman

Senin, 23 Juni 2025

Konsep-Konsep Penting Fenomenologi Edmund Husserl dan Sumbangsihnya Kepada Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Konsep-Konsep Penting Fenomenologi Edmund Husserl dan Sumbangsihnya Kepada Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Oleh: Suprapto

Mahasiswa S3 Studi Islam UIN Walisongo Semarang

Suprapto059@gmail.com

Abstrak

Fenomenologi murni, kita gambarkan dan tunjukkan sebagai ilmu yang mendasar bagi filsafat, adalah ilmu yang pada hakikatnya baru yang, sebagai akibat dari kekhasan hakikinya yang paling radikal, jauh dari pemikiran alamiah dan karena itu hanya pada zaman kita ini yang bergerak maju ke arah perkembangan. Ilmu ini disebut ilmu "fenomena".[1] Husserl berupaya mendasarkan pemikiran pada tempat yang benar-benar kokoh dengan menelusuri hakikat kesadaran dan pengalaman manusia sebagaimana adanya. “Husserl juga menpengertiankan transendensi sebagai cara pemberian fenomena yang tidak muncul sekaligus”[2]Cassara, 2022).Dalam makalah ini, dibahas konsep-konsep utama fenomenologi Husserl, seperti intensionalitas, reduksi fenomenologis, dan epoché, yang menjadi dasar metodologi pemikiran fenomenologis. Biografi singkat Husserl disajikan untuk memahami latar belakang intelektualnya, serta pengaruh tokoh-tokoh seperti Franz Brentano dan Carl Stumpf yang membentuk arah filsafatnya. Fenomenologi Husserl memberikan sumbangsih signifikan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam psikologi, sosiologi dan peneltian kesadaran. Melalui kajian ini, dapat dipahami bahwa fenomenologi Husserl tetap relevan sebagai kekayaan metodologis dalam studi tentang pengalaman manusia, walaupun juga perlu dikembangkan lebih lanjut agar kontekstual dengan realitas dunia modern.

Kata Kunci: Fenomenologi, Edmund Huserl, intensionalitas, epoche, reduksi fenomenologis, eidetic

 

Pendahuluan

Filsafat sepanjang sejarahnya terus mencari jawaban fundamental mengenai keberadaan, pengetahuan, dan kenyataan. Berbagai masalah memasuki alam pikiran manusia untuk menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan, sebagai bagian dari buah kesadarannya.[3] Sebagai ilmu, filsafat telah lahir sejak kurang lebih duapuluh lima abad yang lalu.[4] Di Eropa, selama tahun 1920-an dan 1930-an terjadi krisis dan sangat tertarik pada apa yang dikenal di dunia sebagai Existenzphilosophie. Namun, "filsafat eksistensi" bukanlah satu-satunya gaya berfilsafat kontemporer, untuk gagasan-gagasannya tentang Fenomenologi Murni dan Filsafat Fenomenologis".(Heffernan, 2022) Di antara berbagai pendekatan filsafat kekinian, fenomenologi yang diperkenalkan oleh Edmund Husserl merupakan salah satu pemikiran yang paling berpengaruh dan kompleks. Husserl tidak hanya mengembangkan cara berpikir yang baru, tetapi juga menawarkan tumpuan pilihan bagi filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang berdasar pada pengalaman murni. Fenomenologi menawarkan suatu metode untuk kembali kepada “realitas itu sendiri” (zu den Sachen selbst), yakni bahwa realitas seperti terlihat pada kesadaran tanpa prasangka atau asumsi metafisis.

Abad ke-19, filsafat ditandai oleh dominasi pemikiran positivisme dan rasionalisme, ketika Husserl hadir dengan gagasan bahwa pengalaman subjektif bukanlah hal yang sekunder, melainkan pusat dari segala pengetahuan. Ia mengembangkan metode reduksi fenomenologis, yaitu proses menangguhkan (epoché) semua keyakinan tentang dunia luar agar dapat memahami bagaimana objek-objek muncul dalam kesadaran. Dengan demikian, fenomenologi menjadi pendekatan yang tidak hanya deskriptif tetapi juga reflektif dan kritis terhadap struktur pengalaman manusia.

Pemikiran Edmund Husserl, dimulai dari sejarah hidup singkatnya, tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikirannya, hingga analisis sumbangsih fenomenologi terhadap perkembangan pemikiran manusia. Berbagai kritik terhadap fenomenologi Husserl, baik yang datang dari ilmuwan sezamannya maupun dari generasi berikutnya, juga turut dibahas.

Gagasan transendensi fenomenologis dalam Husserl dan Heidegger awal: Husserl mendefinisikan transendensi terutama sebagai cara pemberian fenomena yang tidak muncul sekaligus, tetapi harus diberikan dalam profil parsial; Heidegger mendefinisikan transendensi terutama sebagai kapasitas Dasein untuk melampaui entitas menuju keberadaan. Pemahaman yang berbeda tentang transendensi fenomenologis ini telah menghasilkan perbedaan yang signifikan dalam penerimaan di antara para fenomenolog agama Prancis. Para pemikir ini menegaskan bahwa fenomenologi, ketika dipahami dan digunakan dengan tepat, dapat memberi ruang bagi yang ilahi dan wahyu-Nya, yaitu, untuk transendensi metafisik. Para pemikir ini lebih menyukai fenomenologi Heidegger daripada Husserl karena mereka memahami transendensi Heidegger sebagai keterbukaan subjek terhadap keberadaan, sementara mereka memahami transendensi Husserl sebagai batas, sebagai ketidakmampuan untuk menangkap objek-objek duniawi. Saya mengambil fenomenologi tentang pemberian milik Jean-Luc Marion sebagai "studi kasus" untuk menggambarkan hal ini. Akhirnya, saya berpendapat bahwa preferensi untuk Heidegger daripada Husserl ini salah tempat dan harus dibalik. Pembacaan yang cermat terhadap Fenomenologi Kehidupan Religius karya Heidegger menunjukkan bahwa Dasein terbatas pada kemungkinan-kemungkinannya sendiri dan tidak dapat terbuka terhadap hubungan dengan yang ilahi. Sebaliknya, fenomenologi Husserl memberikan keterbukaan radikal yang diperlukan untuk menyambut wahyu. Sementara Husserl tidak dapat membayangkan "Tuhan duniawi," struktur horizonalitas dan temporalitas mencirikan subjek yang mampu memiliki keterbukaan yang autentik terhadap wahyu.[5](Cassara, 2022).

 Dengan pendekatan ini, diharapkan pembaca mampu menangkap signifikansi fenomenologi sebagai metode dalam filsafat sekaligus memahami berbagai tantangan yang menyertainya.

Fenomenologi tidak hanya merupakan salah satu aliran dalam filsafat, tetapi juga telah memberikan pengaruh yang luas terhadap berbagai disiplin ilmu, termasuk psikologi, antropologi, sosiologi, hingga teologi. Dengan memahami cara pengalaman terbentuk dalam kesadaran, para ilmuwan dan praktisi dari berbagai disiplin dapat menggali pemahaman yang lebih mendalam mengenai makna, nilai, serta eksistensi manusia. Oleh karena itu, gagasan-gagasan Husserl masih layak untuk ditelaah, khususnya di tengah realitas dunia modern yang dipenuhi krisis makna, rasa keterasingan, dan kecenderungan dehumanisasi.

 

Biografi Singkat Edmund Husserl

Husserl dilahirkan di kota Prossnitz (Moravia) tanggal 8 April 1859. Keluarganya menganut Yahudi non-ortodoks; Husserl beserta istrinya kemudian pindah agama menjadi Kristen Protestan. Mereka dikaruniai tiga orang anak, dan salah satunya ikut dalam Perang Dunia I dan meninggal pada perang tersebut. Pada tahun 1876–1878 Husserl belajar astronomi di Leipzig, dan kuliah dalam bidang matematika, fisika, dan filsafat. Dia juga menyimak kuliah-kuliah filsafat karya Wilhelm Wundt. (Wundt adalah pencetus lembaga pertama untuk psikologi eksperimental.) Mentor Husserl adalah Thomas Masaryk, mantan murid Brentano, yang kemudian menjadi presiden pertama Cekoslowakia. Pada tahun 1878–1881 Husserl kemudian meneruskan studinya dalam ilmu matematika, fisika, dan filsafat di Berlin.[6]

Tokoh yang mempengaruhi pemikiran Husserl antara lain adalah Franz Brentano,[7] terutama melalui pemikiran tentang intensionalitas—bahwa kesadaran selalu berkaitan dengan objek. Konsep ini menjadi fondasi dari fenomenologi Husserl. Carl Stumpf[8] berperan dalam membentuk pendekatan nyata dan analitis Husserl terhadap fenomena mental.

Konsep-Konsep Penting dalam Fenomenologi Husserl

1. Intensionalitas (Intentionality)

Husserl terkenal karena diperkenalkan ke dunia filsafat oleh Franz Brentano (1838–1917), yang memperkenalkan kembali gagasan abad pertengahan tentang "intensionalitas" ke dalam refleksi filosofis kontemporernya; Husserl kemudian secara mandiri mengembangkan konsep tersebut dalam Logical Investigations-nya, karya yang menandai dimulainya fenomenologi.[9](Rozzoni, 2021)

Intensionalitas adalah ciri utama dari setiap pengalaman kesadaran, yaitu bahwa kesadaran selalu sadar akan sesuatu. Tidak ada kesadaran yang berdiri sendiri; setiap akta kesadaran (seperti berpikir, merasakan, membayangkan) selalu mengacu kepada suatu objek, baik nyata maupun imajinatif.[10] (Buongiorno, 2021). Sebagai contoh adalah ketika kita mengingat masa kecil, kesadaran kita diarahkan pada kenangan tersebut. Objeknya mungkin tidak hadir secara fisik, tetapi ia tetap menjadi arah dari akta kesadaran kita.
Konsep ini mengkritik pandangan nyata yang menganggap kesadaran sebagai entitas pasif yang menerima data dari dunia luar. Sebaliknya, Husserl menyatakan bahwa kesadaran itu aktif membentuk makna terhadap dunia.

 

2. Epoché (Pengurungan atau Penangguhan Penilaian)

Epoché adalah tindakan menangguhkan semua penilaian atau asumsi tentang keberadaan dunia luar. Tujuannya adalah untuk menempatkan segala sesuatu dalam tanda kurung, agar dapat melihat bagaimana dunia itu terlihat dalam kesadaran tanpa campur tangan prasangka atau keyakinan apriori. Tujuannya adalah untuk memfokuskan perhatian pada bagaimana objek dunia tersebut dihadirkan dalam kesadaran kita. Contoh dari pengurungan ini adalah ketika kita membayangkan realita sebuah gunung. Dari kejauhan, gunung sering terlihat berwarna biru atau kelabu kebiruan akibat efek atmosfer yang disebut aerial perspective, di mana partikel udara dan uap air membiaskan cahaya yang menyebabkan warna-warna cerah meredup. Namun, saat mendakinya, warna gunung berubah menjadi lebih jelas dan beragam. Pepohonan yang berwarna hijau, tanah yang berwarna cokelat, batu yang abu-abu, serta bunga yang berwarna-warni, atau lumut yang mulai tampak nyata. Perbedaan ini mencerminkan bagaimana jarak dan kondisi cahaya memengaruhi persepsi visual kita terhadap lanskap alam.

 Dalam karya Patočka, epoché, yang secara tradisional dipahami sebagai langkah mundur radikal dari dunia, harus dimaknai secara berbeda, tidak hanya sebagai kebebasan negatif, tetapi juga sebagai landasan politik positif.[11] (Meacham, 2021)

 

3. Reduksi Fenomenologis (Phenomenological Reduction)

Reduksi fenomenologis merupakan inti dari metode fenomenologi Edmund Husserl yang bertujuan untuk kembali pada hakikat pengalaman murni dengan cara menyisihkan segala prasangka, asumsi, dan pengetahuan sebelumnya tentang realitas yang sedang diamati. Dalam pendekatan ini, seseorang diajak untuk menangguhkan (atau dalam istilah Husserl disebut epoché) keyakinan terhadap keberadaan dunia luar sebagaimana biasanya dipercayai dalam kehidupan sehari-hari. Reduksi ini bukan berarti menolak realitas eksternal, melainkan menghentikan penilaian tentang keberadaannya agar pengalaman dapat ditelaah sebagaimana ia hadir dalam kesadaran secara langsung. Melalui langkah ini, subjek tidak lagi memandang objek sebagai sesuatu yang "sudah jadi" atau "sudah dikenal", tetapi membuka diri pada bagaimana objek itu menampakkan dirinya kepada kesadaran.

Dengan begitu, pengalaman akan suatu hal dapat dikaji secara lebih jernih dan mendalam, tanpa campur tangan kerangka berpikir sebelumnya, baik dari sains, agama, maupun budaya. Contohnya, ketika seseorang melihat sebuah pohon, biasanya ia langsung mengidentifikasinya sebagai "pohon" berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya. Namun melalui reduksi fenomenologis, seseorang mencoba mengesampingkan segala pengetahuan itu dan memusatkan perhatian hanya pada bagaimana pohon itu muncul dalam kesadarannya—bentuknya, warnanya, kesan rindangnya, cahaya yang menimpa daunnya, dan bagaimana semuanya itu dialami secara langsung oleh subjek. Dalam konteks ini, fenomena tidak dilihat sebagai sesuatu yang objektif di luar sana, tetapi sebagai sesuatu yang "diberikan" kepada kesadaran dalam suatu momen pengalaman tertentu.

Reduksi ini membawa peneliti atau pengamat pada pemahaman yang lebih murni dan esensial terhadap objek pengalaman, dengan fokus pada korelasi antara subjek dan objek sebagaimana termanifestasi dalam kesadaran. Selain itu, reduksi fenomenologis juga membebaskan pemikiran dari kecenderungan naturalistik—yakni kebiasaan berpikir bahwa realitas semata-mata terdiri dari objek-objek yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Husserl menegaskan bahwa sebelum sains dapat menjelaskan dunia, harus terlebih dahulu dipahami bagaimana dunia itu hadir secara langsung dalam pengalaman manusia.

Dalam konteks ini, reduksi fenomenologis membuka jalan menuju penemuan hakikat esensial dari sesuatu, yang tidak tergantung pada keberadaan fisik atau interpretasi sosialnya, melainkan bagaimana ia dialami secara subjektif. Metode ini sangat penting dalam berbagai bidang, termasuk filsafat, psikologi, pendidikan, bahkan teologi, karena membantu memahami struktur makna yang mendasari kesadaran manusia dalam hubungannya dengan dunia. Oleh sebab itu, reduksi fenomenologis tidak sekadar langkah teknis, tetapi sebuah upaya mendalam untuk menyentuh fondasi kesadaran dan pengalaman manusia, yang menjadi dasar dari segala pengetahuan dan pemaknaan dalam hidup.

Dengan kata lain, konsep ini merupakan proses penyaringan realitas hingga kita mencapai inti dari pengalaman murni. Setelah melakukan epoché, kita melakukan reduksi untuk melihat esensi dari suatu fenomena. Tujuannya adalah menemukan struktur dasar dari pengalaman tanpa gangguan interpretasi kultural, psikologis, atau ilmiah. Langkah-langkahnya adalah dengan cara melakukan epoché (penangguhan), kemudian fokus pada bagaimana sesuatu hadir dalam kesadaran, dan kemudian temukan “esensi” dari pengalaman tersebut. Contohnya adalah dalam pengalaman merasakan "takut", reduksi bertujuan menemukan elemen universal dari rasa takut: adakah objek ancaman, keterbatasan kontrol, dan reaksi fisik, bukan pada detail spesifik pengalaman itu.

 

4. Noesis dan Noema

Dua unsur, noesis dan noema, yang sering dianggap sebagai beberapa istilah Husserl yang paling bermasalah—dan, jika boleh saya katakan, paling konservatif.[12](Rodemeyer, 2020) Noesis merupakan aspek aktif dari kesadaran, yakni cara kita mempersepsi, menilai, atau mengingat sesuatu. Kemudian Noema adalah isi atau objek dari akta kesadaran tersebut, yakni apa yang disadari dalam cara tertentu. Contohnya adalah saat seseorang mengingat ayahnya, maka Noesis = tindakan mengingat, perasaan yang menyertainya dan Noema = citra atau kenangan tentang ayah. Manfaat dari konsep ini membantu menerangkan bahwa objek kesadaran bukan hanya sesuatu di luar diri, melainkan sesuatu yang memiliki bentuk tertentu dalam cara kesadaran mengarah padanya.

 

5. Esensi (Wesensschau)

Esensi adalah hakikat murni dari suatu fenomena—apa yang membuat sesuatu menjadi dirinya sendiri. Metode yang digunakan adalah melalui proses intuisi esensial, yakni merenungi suatu pengalaman secara berulang dalam variasi hingga tersingkap struktur tetap yang menyusunnya. Misalnya ketika kita memikirkan apa esensi dari lampu? Apakah harus bulat? Tidak. Tapi lampu selalu punya fungsi sebagai alat penerang, itulah esensinya. Contoh yang lainnya adalah ketika kita memikirkan handphone, apakah mereknya? Apakah  harus merek tertentu? Tidak. Tapi handphone adalah alat komunikasi jarak jauh. Itulah esensinya. Tujuan dari metode ini adalah
Menemukan dasar universal dari pengalaman manusia yang melampaui pengalaman individual.

 

6. Dunia Kehidupan (Lebenswelt)

Konsep ini dikembangkan lebih lanjut oleh Husserl di masa akhir hidupnya. Lebenswelt berarti dunia yang kita alami sehari-hari secara langsung dan pra-reflektif, sebelum diberi penjelasan ilmiah. Contoh:
Seseorang yang minum kopi di pagi hari tidak berpikir tentang komposisi kimianya, tetapi mengalaminya sebagai kehangatan, aroma, kenikmatan. Contoh lainnya adalah ketika seseorang memandangi gunung dari kejauhan, dia tidak berfikir tentang pohonnya, rumput,batu, tanah dan lumutnya, tapi yang ia rasakan adalah keindahannya. Itulah Lebenswelt. Husserl mengkritik sains modern yang kehilangan kontak dengan dunia kehidupan karena terlalu teknis dan objektif. Ia ingin mengembalikan fokus filsafat pada dunia sebagaimana dialami manusia secara langsung.

 

7. Transendental Ego

Dalam pembahasan ini ada perbedaan antara Husserl dan Heidegger. Perbedaan antara Edmund Husserl dan Martin Heidegger berdasarkan perbedaan Pascal antara esprit de géometrie dan esprit de finesse. Menurut Pascal, "prinsip" esensial yang mendominasi kehidupan persepsi kita tidak dapat ditunjukkan dengan jelas dan percaya diri dengan cara yang mirip dengan logika dan matematika, tetapi harus dipahami dengan cara yang lebih spontan atau intuitif. Tidak mengherankan bahwa Husserl, yang awalnya adalah seorang mahasiswa matematika, mungkin tampak lebih dekat dengan esprit de géometrie, sedangkan Heidegger, yang terlatih dalam teologi dan tertarik pada penyair dan pemikir puitis, lebih dekat dengan esprit de finesse.

Perbedaan ini jelas dari gaya penulisan kedua tokoh penting ini. Perbedaan gaya ini juga terkait dengan substansi filosofi masing-masing, dan dengan pendekatan yang mereka rekomendasikan untuk mengeksplorasi kehidupan subjektif. Perbedaan terkait menyangkut bagaimana masing-masing ahli teori menanggapi apa yang disebut Husserl sebagai "paradoks subjektivitas manusia" dan apa yang kemudian disebut Michel Foucault sebagai "doublet empiris-transendental": fakta bahwa, dalam melakukan fenomenologi, kesadaran manusia ada sebagai subjek dan objek pengetahuan kita. Husserl sebagian besar menekankan keuntungan, epistemologis dan eksistensial, yang dapat diberikan oleh refleksivitas potensial ini. Heidegger lebih tertarik pada hambatan atau jebakan yang ditimbulkannya—baik untuk pengetahuan diri yang akurat maupun untuk kehidupan yang autentik. Isu-isu ini dibahas dalam kaitannya dengan "sikap alami" dan "kehidupan sehari-hari," dan dengan landasan linguistik keberadaan dan pengetahuan manusia—terutama karena isu-isu ini muncul dalam Les mots et les choses karya Foucault dan Meditasi Cartesian Keenam karya Eugen Fink.[13](Sass, 2021a)

Husserl percaya bahwa di balik semua pengalaman terdapat kesadaran murni atau subjek transendental, yang menjadi pusat dari seluruh struktur pengalaman. Bukan ego psikologis (yang berubah-ubah), tetapi subjek yang tidak berubah, yang “melihat” dan “menyadari”. Konsep ini dikritik oleh murid-muridnya karena terlalu mengabsolutkan subjek dan mengabaikan keberadaan historis-kultural manusia.

 

8. Eidetik

Edmund Husserl sering mengkarakterisasi esensi dan hukum eidetik dalam istilah normatif. Namun, banyak pernyataannya yang terkait dengan hal ini sangat membingungkan karena tampak bertentangan dengan pemahaman umum Husserl tentang normativitas. Sebagian besar ketegangan yang tampak antara kedua dimensi pemikiran filosofis Husserl ini.  Menurut pandangannya, esensi dan hukum eidetik tidak pernah secara intrinsik normatif, dan bahwa tidak semua esensi dan tidak semua hukum eidetik yang sesuai dapat berfungsi sebagai norma untuk contohnya. Namun, yang terpenting, menurut Husserl, esensi dan hukum eidetik dapat berfungsi sebagai norma untuk berbagai tindakan subjek. Dengan demikian menjelaskan dalam pengertian apa Husserl berpikir bahwa esensi dan hukum eidetik dapat memiliki fungsi ini. Hukum eidetik formal dapat menimbulkan norma deontik dan evaluatif untuk penilaian, evaluasi, keinginan, dan tindakan kehendak yang benar atau rasional. Esensi material dan hukum eidetik material juga memiliki fungsi normatif untuk penilaian. Ini menunjukkan bagaimana pandangan Husserl memberi ruang bagi norma yang tidak bergantung pada konteks atau berdasar secara subjektif.[14](Carta, 2021)

 

Sumbangsih Fenomenologi pada Pemikiran Manusia

Fenomenologi Edmund Husserl memberikan banyak sumbangsih penting. Diantaranya bahwa pengalaman kesadaran sebagai titik tolak utama dalam memahami realitas. Husserl menunjukkan bahwa objektivitas ilmiah tidak bebas dari prasangka dan harus dikaji kembali secara fenomenologis. Dengan reduksi fenomenologis dan epoché, Husserl menciptakan metode untuk mengkaji kesadaran secara reflektif dan sistematis. Dalam volume kedua Logical Investigations, Husserl secara singkat membahas pertanyaan apakah fenomenolog harus menggolongkan perasaan (Gefühle) sebagai pengalaman yang intensional. Perasaan yang tidak intensional secara eksklusif terbatas pada apa yang disebut Husserl sebagai perasaan sensorik (sinnliche Gefühle) atau sensasi afektif (Gefühlsempfindungen).[15](Jardine, 2020)

 

Tanggapan terhadap Pemikiran Fenomenologi Husserl

Beberapa ilmuwan, terutama Heidegger, menilai bahwa Husserl terlalu terfokus pada kesadaran subjektif sehingga mengabaikan konteks historis dan eksistensial manusia.[16] (Sass, 2021b). Dan seperti disampaikan diatas, bahwa perbedaan latar belakang antara Husserl dan Heidegger, yang terlatih dalam teologi dan tertarik pada penyair dan pemikir puitis, lebih dekat dengan esprit de finesse. Perbedaan ini jelas dari gaya penulisan kedua tokoh penting ini.[17](Sass, 2021b).

Ada satu kritik Celms terhadap idealisme transendental-fenomenologis Husserl. Celms berpendapat bahwa terlepas dari penjelasannya tentang intersubjektivitas, Husserl tidak dapat lepas dari ancaman solipsisme. Pertama, ada bukti yang mendukung hipotesis bahwa Meditasi Kelima Husserl merupakan respons terhadap Celms. Jika demikian halnya, maka membaca Celms membawa kita pada posisi yang lebih bagus untuk menafsirkan Meditasi Kelima dan mengevaluasi keberhasilan argumen Husserl di dalamnya. Kedua, untuk membela Husserl, teori transendental intersubjektivitas yang disajikan dalam Meditasi Kelima merupakan upaya untuk menetralkan ancaman solipsisme transendental, tetapi tidak serta merta menghalangi beberapa bentuk solipsisme pluralistik-epistemik. Namun, ini tidak serta merta merupakan hasil yang bermasalah.[18](Parker, 2020)

 

Kesimpulan

Pemikiran Edmund Husserl melalui fenomenologinya memberikan sumbangan besar dalam tradisi filsafat modern. Ia berhasil merumuskan metode untuk memahami pengalaman manusia secara murni dan reflektif melalui konsep-konsep seperti intensionalitas dan reduksi fenomenologis. Walaupun pemikirannya menuai kritik, terutama dalam hal kecenderungan subjektivisme, fenomenologi tetap menjadi pendekatan yang penting dalam memahami kesadaran, makna, dan eksistensi manusia. Relevansinya tetap kuat dalam dunia kontemporer yang menuntut pendekatan yang lebih manusiawi dan reflektif terhadap realitas. Dengan pemikiran Husserl, kita diajak untuk lebih jujur dalam melihat dunia sebagaimana dialami, bukan sekadar sebagaimana dipersepsikan secara ilmiah atau nyata.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Andrews, I. (2020). Chance, Phenomenology and Aesthetics: Heidegger, Derrida and Contingency in Twentieth Century Art. In Chance Phenomenology and Aesthetics Heidegger Derrida and Contingency in Twentieth Century Art. https://www.scopus.com/inward/record.uri?partnerID=HzOxMe3b&scp=85168012475&origin=inward

Artur, Z. (2020). A speculative turn or a return to the sources of thinking? About the “quartets” by Martin Heidegger and Graham Harman. Przestrzenie Teorii, 34, 245–265. https://doi.org/10.14746/PT.2020.34.11

Ayala-Colqui, J. (2023). The animal, is it a possible otherness? Phenomenological inquiries from husserl and heidegger. Trans Form Acao, 46(2), 133–158. https://doi.org/10.1590/0101-3173.2023.v46n2.p133

Belt, J. (2022). Eidetic Variation: a Self-Correcting and Integrative Account. Axiomathes, 32, 405–434. https://doi.org/10.1007/s10516-021-09611-1

Bicudo, M. A. V. (2020). THE ORIGIN OF NUMBER AND THE ORIGIN OF GEOMETRY: ISSUES RAISED AND CONCEPTIONS ASSUMED BY EDMUND HUSSERL. Revista Pesquisa Qualitativa, 8(18), 387–418. https://doi.org/10.33361/RPQ.2020.v.8.n.18.337

Buongiorno, F. (2021a). Drive and Object: The Intentionality of Desire in Edmund Husserl. Iride, 34(3), 543–558. https://doi.org/10.1414/103690

Buongiorno, F. (2021b). Drive and Object: The Intentionality of Desire in Edmund Husserl. Iride, 34(3), 543–558. https://doi.org/10.1414/103690

Carta, E. (2021). Husserl on Eidetic Norms. Husserl Studies, 37(2), 127–146. https://doi.org/10.1007/s10743-020-09284-5

Cassara, B. (2022). Phenomenology and Transcendence: On Openness and Metaphysics in Husserl and Heidegger. Religions, 13(11). https://doi.org/10.3390/rel13111127

Cauvin, J. P. (2020). From phenomenology to the philosophy of the concept: Jean cavaillès as a reader of Edmund Husserl. Hopos, 10(1), 24–47. https://doi.org/10.1086/707600

Claudio, R. (2021). The concept of “tradition” in edmund husserl. Philosophies, 6(1). https://doi.org/10.3390/philosophies6010001

Crişan, H. T. (2020). Illness and two meanings of phenomenology. Journal of Evaluation in Clinical Practice, 26(2), 425–430. https://doi.org/10.1111/jep.13350

Doyon, M. (2024). Phenomenology and the norms of perception. In Phenomenology and the Norms of Perception. https://doi.org/10.1093/9780191993527.001.0001

DuFour, T. (2023). Environmentality: A Phenomenology of Generative Space in Husserl. Research in Phenomenology, 53(3), 331–358. https://doi.org/10.1163/15691640-12341531

Edmund Husserl, Ideas Pertaining to A Pure Phenomenology and to A Phenomenologycal Philosopy (1983)

Friesen, N. (2022). Phenomenology and education: researching pedagogical experience. In International Encyclopedia of Education Fourth Edition (pp. 131–140). https://doi.org/10.1016/B978-0-12-818630-5.11015-2

Gros, A. (2023). What is phenomenology? A brief and up-to-date introduction for sociologists. Revista Colombiana De Sociologia, 46(1), 293–324. https://doi.org/10.15446/rcs.v46n1/94966

Haensler, P. P. (2020). Phenomenology to the letter: Husserl and literature. In Phenomenology to the Letter Husserl and Literature. https://doi.org/10.1515/9783110654585

Heffernan, G. (2022a). Husserl’s Phenomenology of Existence: A Very Brief Introduction. In Contributions To Phenomenology (Vol. 120, pp. 1–30). Springer Nature. https://doi.org/10.1007/978-3-031-05095-4_1

Heffernan, G. (2022b). Husserl’s Phenomenology of Existence: A Very Brief Introduction. In Contributions to Phenomenology (Vol. 120, pp. 1–30). https://doi.org/10.1007/978-3-031-05095-4_1

Janoušek, H. (2020). Early Phenomenology in Prague. In Contributions to Phenomenology (Vol. 113, pp. 17–34). https://doi.org/10.1007/978-3-030-39623-7_2

Jardine, J. (2020). Edmund Husserl. In Routledge Handbook of Phenomenology of Emotion (pp. 53–62). https://doi.org/10.4324/9781315180786-4

Jujun S. Suriansumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012.

Kinkaid, J. (2020). Phenomenology and the stratification of reality. European Journal of Philosophy, 28(4), 892–910. https://doi.org/10.1111/ejop.12546

Kirsberg, I. W. (2023). Is Causality Admissible in Phenomenology? A Corrective to Edmund Husserl’s Idea. Phainomena, 32(124), 203–220. https://doi.org/10.32022/PHI32.2023.124-125.9

Kivle, I. (2020). The review of the international interdisciplinary conference to let things be! edmund husserl 160, Martin Heidegger 130” (December 10-12, 2019, Riga, Latvia). In Horizon Studies in Phenomenology (Vol. 9, Issue 1, pp. 373–381). https://doi.org/10.21638/2226-5260-2020-9-1-373-381

Lewandowski, R. (2021). THE TRUTH, ITS ONTOLOGICAL ASPECTS and the IDEA of INFINITE INTELLECT in EDMUND HUSSERL’S LOGICAL INVESTIGATIONS. Roczniki Filozoficzne, 69(4), 83–124. https://doi.org/10.18290/RF21694-5

Loidolt, S. (2024). EDMUND HUSSERL: Idealistic Politics and Communal Spirit. In Routledge Handbook of Political Phenomenology (pp. 18–29). https://doi.org/10.4324/9781003197430-4

Marosan, B. P. (2020). Edmund husserl’s constructive phenomenology in the c-manuscripts and other late research manuscripts. Phainomena, 29(112), 5–24. https://doi.org/10.32022/PHI29.2020.112-113.1

McGillen, M. (2020). Husserl’s image worlds and the language of phenomenology. In Phenomenology to the Letter Husserl and Literature (pp. 23–44). https://doi.org/10.1515/9783110654585-002

Meacham, D. (2021). Epoché and institution: the fundamental tension in Jan Patočka’s phenomenology. Studies in East European Thought, 73(3), 309–326. https://doi.org/10.1007/s11212-020-09398-8

Mezei, B. M. (2022). Apocalyptic Phenomenology: The Culmination of the Phenomenological Movement. Religions, 13(11). https://doi.org/10.3390/rel13111077

Nizhnikov, S. A. (2020). A.F. losev’s dialectics and phenomenology. Voprosy Filosofii, 6(2020), 116–125. https://doi.org/10.21146/0042-8744-2020-6-116-125

Pizzi, M. I. (2020). “Reaching God without God”. The relationship between phenomenology and theology in Edmund Husserl and Jean-Luc Marion. Arete, 32(2), 417–441. https://doi.org/10.18800/arete.202002.006

Poitras, G. (2021). Phenomenology and heterodox economics. Review of Social Economy, 79(2), 333–356. https://doi.org/10.1080/00346764.2019.1669811

Pula, B. (2024). Alfred Schutz, Phenomenology, and the Renewal of Interpretive Social Science. In Alfred Schutz Phenomenology and the Renewal of Interpretive Social Science. https://doi.org/10.4324/9781003461098

Rodemeyer, L. (2020). Noesis, and noema, and gender-oh my! Journal of Speculative Philosophy, 34(3), 248–264. https://doi.org/10.5325/jspecphil.34.3.0248

Rozzoni, C. (2021). Intentionality, Phantasy, and Image Consciousness in Edmund Husserl. In Palgrave Handbook of Image Studies (pp. 249–263). https://doi.org/10.1007/978-3-030-71830-5_15

Santis, D. De. (2022). Theodor Conrad, Zum Gedächtnis Edmund Husserls (Ein unveröffentlichter Aufsatz aus der Bayerischen Staatsbibliothek). Husserl Studies, 38(1), 55–66. https://doi.org/10.1007/s10743-021-09289-8

Santis, D. De. (2023). Edmund Husserl’s Cartesian Meditations: Commentary, interpretations, discussions. In Edmund Husserl S Cartesian Meditations Commentary Interpretations Discussions. https://www.scopus.com/inward/record.uri?partnerID=HzOxMe3b&scp=85175148187&origin=inward

Sass, L. (2021a). Husserl, Heidegger, and the paradox of subjectivity. Continental Philosophy Review, 54(3), 295–317. https://doi.org/10.1007/s11007-021-09540-1

Sass, L. (2021b). Husserl, Heidegger, and the paradox of subjectivity. Continental Philosophy Review, 54(3), 295–317. https://doi.org/10.1007/s11007-021-09540-1

Sepúlveda, J. G. M. (2020). The phenomenology of edmund husserl as an epistemological basis of qualitative methods. Revista Notas Historicas Y Geograficas, 25, 1–25. https://www.scopus.com/inward/record.uri?partnerID=HzOxMe3b&scp=85107857583&origin=inward

Sholihan, Falsafah Kesatuan Ilmu: Paradigma Keilmuan UIN Walisongo, Semarang, RaSail Media Grup, 2021

Stephenson, J. (2024). Ambient Temporalities: Rethinking Object-Oriented Time through Kant, Husserl, and Heidegger. Open Philosophy, 7(1). https://doi.org/10.1515/opphil-2024-0035

Toronyai, G. (2024). On the Personal, Intersubjective, and Metaphysical Senses of Death: An Inquiry into Edmund Husserl’s Transcendental Phenomenological Approach to Death. Husserl Studies, 40(1), 67–88. https://doi.org/10.1007/s10743-023-09339-3

Varga, P. A. (2022). Edmund Husserl on the Historicity of the Gospels. A Different Look at Husserl’s Philosophy of Religion and his Philosophy of the History of Philosophy. Husserl Studies, 38(1), 37–54. https://doi.org/10.1007/s10743-021-09298-7

Varga, P. A. (2023). An eyewitness account of Edmund Husserl and Freiburg phenomenology in 1923–24. Towards reclaiming the plurivocity of historical sources of the Phenomenological Movement. Continental Philosophy Review, 56(4), 517–533. https://doi.org/10.1007/s11007-023-09619-x



[1] Edmund Husserl, Ideas Pertaining to A Pure Phenomenology and to A Phenomenologycal Philosopy (1983)

[2] Cassara B, Phenomenology and Transcendence: On Openness and Metaphysics in Husserl and Heidegger (2022) 13(11)

[3] Jujun S. Suriansumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012, hlm 2

[4] Sholihan, Falsafah Kesatuan Ilmu: Paradigma Keilmuan UIN Walisongo, Semarang, RaSail Media Grup, 2021,hlm 2

[5] Phenomenology and Transcendence: On Openness and Metaphysics in Husserl and Heidegger ,Cassara B, Religions (2022) 13(11)

[6] https://plato.stanford.edu/entries/husserl/#LifWor

[7] https://plato.stanford.edu/entries/husserl/#LifWor

[8] https://plato.stanford.edu/entries/husserl/#LifWor

[9] Intentionality, Phantasy, and Image Consciousness in Edmund Husserl, Rozzoni C, Palgrave Handbook of Image Studies

[10] Buongiorno F, Drive and Object: The Intentionality of Desire in Edmund Husserl, Iride (2021) 34(3) 543-558

[11] Meacham D, Epoché and institution: the fundamental tension in Jan Patočka’s phenomenology Studies in East European Thought (2021) 73(3) 309-326

[12] Noesis, and noema, and gender-oh my!Rodemeyer L, Journal of Speculative Philosophy (2020) 34(3) 248-264

 

[13] Husserl, Heidegger, and the paradox of subjectivity, Sass L, Continental Philosophy Review (2021) 54(3) 295-317

[14] Husserl on Eidetic Norms, Carta E, Husserl Studies (2021) 37(2) 127-146

 

[15] Edmund Husserl, Jardine J, Routledge Handbook of Phenomenology of Emotion

[16] Husserl, Heidegger, and the paradox of subjectivity, Sass L, Continental Philosophy Review (2021) 54(3) 295-317

[17] Husserl, Heidegger, and the paradox of subjectivitySass LContinental Philosophy Review (2021) 54(3) 295-317

[18] Does Husserl’s Phenomenological Idealism Lead to Pluralistic Solipsism? Assessing the Criticism by Theodor CelmsParker RContributions to Phenomenology

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setiap komentar hendaknya bernilai positif, memperhatikan etika dan tidak menyinggung SARA. Terimakasih.